Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 11 Juni 2016

makalah fiqih solat

Posted by ranika harisah On 19.46 No comments

Pengertian Shalat dan Pensyariatannya

A. Pengertian Shalat
Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut ini.
 خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS. At-Taubah : 103)
Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.
Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.
B. Waktu Pensyariatan Ibadah Shalat
Sebelum shalat lima waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.
Barulah pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali dalam sehari semalam yang asalnya 50 kali. Persitiwa ini dicatat dalam sejarah terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke Madinah. Sebagaimana tertulis dalam hadits nabawi berikut ini :
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ  rلَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ ، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا  ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ : إِنَّهُ لاَ يُبْدَلُ القَوْلُ لَدَيَّ  وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخْمْسِ خَمْسِيْنَ رواه أحمد والنسائي والترمذي وصححه
 Dari Anas bin Malik ra. "Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan ,"Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat".(HR. Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh At-Tirmizy)
Sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat disyariatkan pada malam mi’raj, namun bukan 5 tahun sebelum hijrah, melainkan pada tanggal 17 Ramadhan 1,5 tahun sebelum hijrah nabi.
C. Dalil-dalil Pensyariatan Shalat
Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ umat Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang menolak kewajiban shalat kecuali orang-orang kafir atau zindiq.
Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban shalat secara mutlak untuk semua orang yang mengaku beragama Islam yang sudah akil baligh. Bahkan anak kecil sekalipun diperintahkan untuk melakukan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak mau shalat usia 10 tahun, meski belum baligh.
1. Dalil dari Al-Quran
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kareim
 وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
"...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."(QS. Al-Bayyinah : 5)
 وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)
 إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".(QS. Al-Baqarah : 43)
Dan masih banyak lagi perintah di dalam kitabullah yang mewajibkan umat Islam melalukan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan fi`il Amr (kata perintah) dengan perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i). Yaitu pada surat :
§  Al-Baqarah ayat 43, 83 dan110
§  Surat An-Nisa ayat 177 dan 103
§  Surat Al-An`am ayat 72
§  Surat Yunus ayat 87
§  Surat Al-Hajj : 78
§  Surat An-Nuur ayat 56
§  Surat Luqman ayat 31
§  Surat Al-Mujadalah ayat 13
§  Surat Al-Muzzammil ayat 20.
Ada 5 perintah shalat dengan lafaz "aqimish-shalata" (أقم الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan khithab hanya kepada satu orang. Yaitu pada :
§  Surat Huud ayat 114
§  Surat Al-Isra` ayat 78
§  Surat Thaha ayat 14
§  Surat Al-Ankabut ayat 45
§  Surat Luqman ayat 17.
2. Dalil dari As-Sunnah
Di dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ada banyak sekali perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i tentang kewajiban shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ  rيَقُوْلُ : بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ  رواه البخاري و مسلم
 Dari Ibni Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Islam didirikan di atas lima hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah bila mampu". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil dari Ijma`
Bahwa seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban shalat dalam agama Islam. Lima kali dalam sehari semalam.
Dengan adanya dalil dari Quran, sunnah dan ijma` di atas, maka lengkaplah dalil kewajiban shalat bagi seorang muslim. Maka mengingkari kewajiban shalat termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan bisa divonis kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya kewajiban shalat.
D. Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat
Para ulama sepakat bahwa seorang muslim yang sudah akil baligh bila meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga halal darahnya. Pihak pemerintah Islam melalui mahkamah syar`iyah berhak memvonis mati orang yang murtad karena mengingkari kewajiban shalat.
Namun bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai, sementara dalam keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah yang wajib dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga vonis kafir tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena seseorang baru saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka dakwah Islam yang mengajarkan kewajiban shalat.
Secara duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat menurut para ulama antara lain :
1. Al-Hanafiyah
Menurut kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau mengerjakan shalat hukumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan keras hingga keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan shalat. Bila tidak mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga mati. Namun dia tidak boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari kewajiban shalat. Seperti berkeyakinan secara sadar sepenuhnya bahwa di dalam Islam tidak ada perintah shalat.
2. Ulama lainnya
Sedangkan para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada seorang muslim yang malas tidak mau mengerjakan shalat tanpa ‘udzur syar`i, maka dia dituntun untuk bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari. Artinya bila selama tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan shalat, maka hala darahnya dan boleh dibunuh.
3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah
Mereka mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena dasar hudud (hukum dari Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga orang itu tidak dianggap sebagai kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama dengan seorang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka ini wajib dihukum hudud meski statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun tetap harus dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan Islam.
Jumhur ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan shalat bukan karena jahd (sengaja tidak mengakui kewajiban shalat), tidak dianggap orang kafir. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
 إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.(QS. An-Nisa : 48)
Sedangkan imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat harus dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir. Pendapat itu didasarkan pada firman Allah SWT :
فَإِذَا انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 5)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat (HR. Jamaah kecuali Bukhari) 
Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak shalat hanya karena alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak dianggap kafir. Barulah dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak  atau tidak menerima adanya kewajiban shalat dalam Islam.
E. Shalat Dalam Berbagai Kondisi
Shalat lima waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan rukhsah / keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya.
Namun rukhsah (keringanan) yang Allah berikan tidak berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan bila memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi seseorang berada di tengah peradaban atau kota, tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di tengah jalanan yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan air tidak dapat dibenarkan.
Begitu juga dengan menjama` shalat Maghrib dan Isya`. Waktu Maghrib memang sangat sempit sehingga harus segera dikerjakan. Tetapi waktu `Isya` sangat panjang hingga menjelang subuh. Karena itu tidak ada alasan untuk menjama` shalat Isya` dengan Maghrib.
Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya menjama` dua shalat yaitu bila dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan dia masih dalam kategori bukan safar karena masih berada di dalam kota. Safar adalah perjalanan keluar kota yang secara jarak memang ada perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun tidak dikatakan safar bila masih dalam kota sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat.
Jadi yang harus diakukan adalah membuat perhitungan bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk mencari tempat shalat.
Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla, tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa terminal, emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dijadikan bumi ini sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di muka bumi.
Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual di jalan.
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang, kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan shalat maghrib di tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang.
Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan dan bus jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling kenal, maka tidak ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan kepada mereka agar bus itu bisa berhenti sejenak di pinggir tol agar bisa memberikan kesempatan kepada mereka yang muslim untuk mengerjakan shalat maghrib. Mungkin ide ini dianggap gila atau mengada-ada, tapi tidak ada salahnya dicoba?


Pertemuan 2

Waktu-waktu Shalat Fardhu

A. Shalat Pada Waktunya
Shalat hanya boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Bila shalat dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan, maka shalat itu tidak sah.
Kecuali bila ada uzur tertentu yang memang secara syariah bisa diterima. Seperti mengerjakana shalat dengan dijama` pada waktu shalat lainnya. Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan mengetahui ada shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar dari waktunya. Ada pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan diluar ketentuan yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.
Dalam hal keharusan melakukan shalat pada waktunya, Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran :
 إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
B. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Quran
Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.
وَأَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud : 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang , yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghrib dan Isya`.
Ayat kedua
 أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra` : 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah matahari tergelincir , yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.
C. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits
Sedangkan bila ingin secara lebih spasifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Kariem. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنِ ْبنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ  rجَاءَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمِ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الظُّهْرَ حَتىَّ زَالَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العَصْرُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ العَصرِ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ، ثُمَّ جَاءَهُ المَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ المَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلهِِّ فَصَلىَّ العِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ جَاءَهُ الفَجْرُ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ –أَوْ قَالَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ - فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الصُّبْحَ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ.
Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam dan berkata kepadanya,"Bangunlah dan lakukan shalat". Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Maghrib ketika mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan Tirmizy. ) [1]
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini :
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  rقَالَ :لاَ تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الفِطْرَةِ مَا صَلُّوا المَغْرِبَ قَبْلَ طُلُوْعِ النُّجُوْمِ – رواه أحمد والطبراني
Dari As-Saib bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul bintang".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
D. Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para fuqoha. Diantaranya yang bisa disebutkan adalah :
§  Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,
§  Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
§  Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
§  Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
§  Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
§  Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
§  Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
§  Kitab Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan
§  Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298.
Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut :
1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)
 Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.
Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :
أَبِي مُوسَى: فَأَقَامَ اَلْفَجْرَ حِينَ اِنْشَقَّ اَلْفَجْرُ, وَالنَّاسُ لا يَكَادُ يَعْرِفُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r  اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ اَلصَّلاةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ فِيهِ اَلصَّلاةُ - أَيْ: صَلاةُ اَلصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ اَلطَّعَامُ رَوَاهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ 
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari". (HR. Muslim)  
2. Waktu Shalat Zhuhur
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.
 Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
Namun hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan bila siang sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar memudahkan dan bisa menambah khusyu’[2]
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ النَّبِيّ r إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ  وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ رواه البخاري
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat. Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR. Bukhari)
3. Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan shalat Ashar". (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : سمَِعْتُ رَسُولَ اللهِ  rيَقُولُ : تِلْكَ صَلاَةُ المُنَافِقِ  يجَلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَي الشَّيْطَانَ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً رواه الجماعة ، إلا البخاري ، وابن ماجة
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"...Itu adalah shalatnya orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit". (HR. Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum terbenam.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
 Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning".(HR. Muslim)
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ الله r قَالَ:حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى - والصَّلاَةُ الْوُسْطَى صَلاَةُ الْعصرِ
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat :"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)
Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Wustha adalah shalat Ashar". (HR. Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh.
4. Waktu Shalat Maghrib
 Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ  رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
 Dari Abdullah bin Amar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)". (HR. Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah :
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam". (HR. Tirmizy)
Namun menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.
5. Waktu Shalat Isya`
Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: إِنَّمَا اَلتَّفْرِيطُ أَنْ يُؤَخِّرَ الصَّلاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الأُخْرَى " أَخْرَجَهُ مُسْلِم
 Dari Abi Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya". (HR. Muslim)  
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِ r ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعَشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ ثُمَّ خَرَجَ, فَصَلَّى وَقَالَ: "إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan / menunda shalat Isya` hingga leat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau bersabda,"Seaungguhnya itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku.". (HR. Muslim)
وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الاسْلَمِيِّ قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ مِنْ اَلْعِشَاءِ,  وَكَانَ يَكْرَهُ اَلنَّوْمَ قَبْلَهَا  وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR. Muttafaq ‘alaihi)
عن جَابِرٍ قال: وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ, وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ,  وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ r يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau shallallahu 'alaihi wasallam melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR. Bukhari Muslim)
E. Waktu Shalat Yang Diharamkan
Ada lima waktu dalam sehari semalam yang diharamkan untuk dilakukan shalat di dalamnya. Tiga di antaranya terdapat dalam satu hadits yang sama, sedangkan sisanya yang dua lagi berada di dalam hadits lainnya.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ثَلاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ  نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ حَتَّى تَزُولَ اَلشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ 
Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu berkata,"Ada tiga waktu shalat yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melakukan shalat dan menguburkan orang yang meninggal di antara kami. [1] Ketika matahari terbit hingga meninggi, [2] ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala hingga bergeser sedikit ke barat dan [3] berwarna matahari berwarna kekuningan saat menjelang terbenam. .(HR. Muslim)
Sedangkan dua waktu lainnya terdapat di dalam satu hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ t قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ r يَقُولُ: لا صَلاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ وَلا صَلاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak ada shalat setelah shalat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat sesudah shallat Ashar hingga matahari terbenam.(HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua waktu ini hanya melarang orang untuk melakukan shalat saja, sedangkan masalah menguburkan orang yang wafat, tidak termasuk larangan. Jadi boleh saja umat Islam menguburkan jenazah saudaranya setelah shalat shubuh sebelum matahari terbit, juga boleh menguburkan setelah shalat Ashar di sore hari.
Maka kalau kedua hadits di atas kita simpulkan dan diurutkan, kita akan mendapatkan 5 waktu yang di dalamnya tidak diperkenankan untuk melakukan shalat, yaitu :
a. Setelah shalat shubuh hingga matahari agak meninggi.
Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits Amru bin Abasah adalah qaida-rumhin aw rumhaini. Maknanya adalah matahari terbit tapi baru saja muncul dari balik horison setinggi satu tombak atau dua tombak. Dan panjang tombak itu kira-kira 2,5 meter 7 dzira' (hasta). Atau 12 jengkal sebagaimana disebutkan oleh mazhab Al-Malikiyah.
b. Waktu Istiwa`
Yaitu ketika matahari tepat berada di atas langit atau di tengah-tengah cakrawala. Maksudnya tepat di atas kepala kita. Tapi begitu posisi matahari sedikit bergeser ke arah barat, maka sudah masuk waktu shalat Zhuhur dan boleh untuk melakukan shalat sunnah atau wajib.
c. Saat Terbenam Matahari
Yaitu saat-saat langit di ufuk barat mulai berwarna kekuningan yang menandakan sang surya akan segera menghilang ditelan bumi. Begitu terbenam, maka masuklah waktu Maghrib dan wajib untuk melakukan shalat Maghrib atau pun shalat sunnah lainnya.
d. Setelah Shalat Shubuh Hingga Matahari Terbit
Namun hal ini dengan pengecualian untuk qadha' shalat sunnah fajar yang terlewat. Yaitu saat seseorang terlewat tidak melakukan shalat sunnah fajar, maka dibolehkan atasnya untuk mengqadha'nya setelah shalat shubuh.
e. Setelah Melakukan Shalat Ashar Hingga Matahari Terbenam.
Maksudnya bila seseorang sudah melakukan shalat Ahsar, maka haram baginya untuk melakukan shalat lainnya hingga terbenam matahari, kecuali ada penyebab yang mengharuskan. Namun bila dia belum shalat Ashar, wajib baginya untuk shalat Ashar meski sudah hampir maghrib.
Bila Waktu Shalat Telah Lewat
Bila seseorang bangun kesiangan dari tidurnya dan belum shalat shubuh, maka yang harus dilakukan adalahsegera shalat shubuh pada saat bangun tidur. Tidak diqadha dengan zhuhur pada siangnya atau esoknya. Sebab kita telah mendapatkan keterangan jelas tentang hal itu dari apa yang dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau dan beberapa shahabat pernah bangun kesiangan dan melakukan shalat shubuh setelah matahari meninggi.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Barang siapa yang ketiduran (sampai tidak menunaikan shalat) atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia menyadarinya”. (HR Muttafaq alaihi)
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib menunaikan shalat shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun dari tidurnya (tentunya setelah bersuci terlebih dahulu), walaupun waktu tersebut termasuk waktu-waktu yang terlarang melaksanakan shalat. Karena pelarangan shalat pada waktu-waktu tersebut berlaku bagi shalat-shalat sunnah muthlak yang tidak ada sebabnya. Sedangkan bagi shalat yang memiliki sebab tertentu, seperti halnya orang yang ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan shalat tersebut pada waktu-waktu terlarang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْل أَنْ تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ   مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit maka dia telah mendapatkan shalat tersebut (shalat shubuh)." (HR Bukhari dan Muslim)
Salah satu rahasia untuk bisa bangun di waktu shubuh bukan memasang alarm, tetapi dengan cara tidur di awal malam. Kebiasaan tidur terlalu larut malam akan menyebabkan badan lesu dan juga sulit bangun shubuh.
Orang yang tidur di awal malam, pada jam 04.00 dini hari sudah merasakan istirahat yang cukup. Secara biologis, tubuh akan bangun dengan sendirinya, bergitu juga dengan mata.
Sebaliknya, orang yang tidur larut malam, misalnya di atas jam 24.00, sulit baginya untuk bangun pada jam 04.00 dini hari. Sebab secara biologis, tubuhnya masih menuntut lebih banyak waktu istirahat lebih banyak.
Tapi yang paling utama dari semua itu adalah niat yang kuat di dalam dada. Ditambah dengan kebiasaan yang baik, dimana setiap anggota keluarga merasa bertanggung-jawab untuk saling membangunkan yang lain untuk shalat shubuh.
Kalau mau memasang alarm, letakkan di tempat yang mudah terjangkau, deringnya cukup lama dan harusa memekakkan telinga. Jangan diletakkan di balik bantal, karena biasanya dengan mudah bisa dimatikan lalu tidur lagi. □


Pertemuan 3

Adzan Sebelum Shalat

A. Perngertian Adzan
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu. dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir siksa yang pedih.(QS. At-Taubah : 3)
Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
 وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)
Sedangkan secara syariat, definisi adzan adalah perkataan tertentu untuk memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.[3]
Sedangkan dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
B. Pensyariatan Adzan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
§  Dalil dari Al-Quran
 وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)
§  Dalil dari sunnah :
وَعَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ t قَالَ : قَالَ لَنَا اَلنَّبِيُّ r وَإِذَا حَضَرَتِ اَلصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ اَلسَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami,"Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan".(HR. Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ t قَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: "اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ, فَذَكَرَ اَلاذَانَ - بِتَرْبِيع اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ, وَالاقَامَةَ فُرَادَى, إِلاَّ قَدْ قَامَتِ اَلصَّلاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r فَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..."
 Dari Abdullah bin Zaid bin Abdirabbihi berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku datangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,"Itu adalah mimpi yang benar, Insya Allah. Pergilah kepada Bilal dan sampaikan apa yang kamu lihat dalam mimpi. Sesungguhnya Bilal itu suaranya lebih terdengar dari suaramu". (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam juga diperlihatkan praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.
Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi.
Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib. Riwayat yang shahih adalah bahwa adzan pertama kali berkumandang di Madinah sebagaimana hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.
C. Keutamaan Adzan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau berlu mereka melakukan undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits  nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ rقَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فيِ الاآذَانِ وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا رواه البخاري وغيره
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara mereka.."(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang yang mengumandangkan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ t أَنَّ النّبِيَّ rقَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن ماجه
 Dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat". (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah) 
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah, menjadi muazzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :
 وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(QS. Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
D. Hukum Adzan
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain al-Hanabilah adalah sunnah muakkadah,  yaitu bagi laki-laki yang dikerjakan di masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.[4]
Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak disunnahkan untuk mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat Iedul Adha, shalat tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai gantinya digunakan seruan dengan lafaz "Ash-shalatu jamiatan" (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits berikut :

 Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwa telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kepada orang-orang diserukan : "Ash-shalatu Jami`atan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang dianjurkan hanyalah iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan Al-Malikiyah. Oleh sebab untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita. Bahkan iqamat pun dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.
E. Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :
a. Telah masuk waktu shalat
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, maka Adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang lagi Adzannya.
Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam. adzan yang pertama sebelum masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan yang menandakan masuknya waktu shubuh. Yaitu pada saat fajar shadiq sudah menjelang.
b. Harus dengan bahasa arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah. Sebab adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata panggilan atau menandakan masuknya waktu shalat.
c. Dilakukan oleh satu orang
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara satu orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian, maka hal itu tidak sah. Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa suara vokal secara berberengan, dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani Umayyah.
d. Yang mengumandangkannya harus seorang muslim, laki-laki, akil dan baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non muslim, wanita, orang tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang punya beban ibadah.
Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang itu tidak boleh fasik, bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain yang tidak fasik. Al-Malikiyah mengatakan bahwa dia harus adil.
e. Harus tertib lafaznya
Tidak boleh terbolak balik dalam mengumandangkan Adzan. Namun para ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan harus punya wudhu` juga tidak diharuskan menghadap kiblat, juga tidak diharuskan berdiri. Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya adzan.
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di masa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah bin Zaid, shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan atas perintah nabi juga. [5]
F. Sunnah Adzan
Hal-hal yang disunnahkan dalam masalah adzan adalah berikut ini :
a.   Yang mengumandangkan adzan dianjurkan orang yang bersuara lantang dan bagus. Juga merupakan orang yang shalih, terpercaya, mengetahui waktu-waktu shalat dengan baik dan sudah akil baligh.
b.   Dilakukan di tempat yang tinggi dekat masjid agar bisa lebih jauh terdengar.
c.   Dilakukan dengan berdiri dan dalam kondisi berwudhu`. Juga dianjurkan untuk meletakkan jarinya di telinganya agar kuat bersuara lantang. Juga disunnahkan menghadap ke kiblat kecuali pada lafaz Hayya `alash shalah dan hayya `alal falah, disunnahkan untuk memalingkan badan ke kanan dan ke kiri tanpa menggeser kakinya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ t قَالَ: رَأَيْتُ بِلالاً يُؤَذِّنُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وَهَاهُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ 
Dari Abi Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Bilal mengumandangkan adzan dan mulutnya ke kanan dan ke sana dan kesini dan kedua jarinya berada pada kedua telinganya."(HR. Ahmad dan Tirmizy)
وَلابْنِ مَاجَهْ: وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْه
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan : Dan dia meletakkan jarinya berada pada telinganya.
وَلأَبِي دَاوُدَ: لَوَى عُنُقَهُ, لَمَّا بَلَغَ "حَيَّ عَلَى اَلصّلاةِ " يَمِينًا وَشِمَالاً وَلَمْ يَسْتَدِرْ وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ 
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan : beliau memalingkan lehernya ketika mengucapkan Hayya `alash shalah ke kanan dan ke kiri tapi tidak berputar.
d.   Dilakukan di awal  waktu shalat sehingga orang-orang bisa melakukan shalat lebih awal.
G. Adzan Selain untuk Shalat
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu[6] bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa even kejadian lainnya, seperti :
a.       Adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.
b.      Pada waktu terjadi kebakaran
c.       Pada waktu terjadi peperangan
d.      Juga adzan dikumandangkan pada seseorang yang terkena pengaruh jin dan syetan (kesurupan). Sebab syetan akan lari bila mendengar suara Adzan.
e.       Juga dikumandangkan di bagian belakang orang yang akan bepergian (musafir).
Namun menurut pendapat mazhab Asy-Syafi`i yang muktamad, adzan tidak disunnahkan ketika memasukkan mayat ke dalam kuburnya. Ini berbeda dengan praktek umumnya masyarakat di negeri ini yang melakukan pendapat Asy-Syafiiyah yang tidak muktamad.□


Pertemuan 4

Syarat-syarat Shalat

Syarat shalat adalah hal yang harus terpenuhi untuk sahnya sebuah ibadah shalat. Syarat ini harus ada sebelum ibadah shalat dilakukan. Bila salah satu dari syarat ini tidak terdapat, maka shalat itu menjadi tidak sah hukumnya.
Syarat shalat itu ada dua macam. Pertama, syarat wajib. Yaitu syarat yang bila terpenuhi, maka seseorang diwajibkan untuk melakukan shalat. Kedua, syarat sah. Yaitu syarat yang harus terpenuhi agar ibadah shalat itu menjadi sah hukumnya.
A. Syarat Wajib
Bila semua syarat wajib terpenuhi, maka wajiblah bagi seseorang yang telah memenuhi syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat. Sebaliknya, bila salah satu dari syarat wajib itu tidak terpenuhi, maka dia belum diwajibkan untuk melakukan shalat.
Adapun yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah hal-hal berikut ini.
1. Beragama Islam
Seseorang harus beragama Islam terlebih dahulu agar punya beban kewajiban shalat. Selama seseorang belum menjadi seoarang muslim, maka tidak ada beban kewajiban shalat baginya.
Tidak ada konsekuensi hukuman buat non muslim bila tidak mengerjakan shalat di dunia ini. Namun meski demikian, di akhirat nanti dia tetap akan disiksa dan dibakar di neraka. Sedangkan seorang muslim bila tidak shalat, selain disiksa di akhirat, di dunia ini pun harus dijatuhi hukuman oleh pemerintah Islam atau mahkamah syar`iyah. Itulah yang membedakan antara kewajiban shalat seorang muslim dengan non muslim.
Namun bila ada seorang kafir yang masuk Islam, tidak ada kewajiban untuk mengqadha` shalat yang selama ini ditinggalkannya. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT :
 قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الاوَّلِينَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : "Jika mereka berhenti , niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah orang-orang dahulu ".(QS. Al-Anfal : 38)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya :
عَن عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ t أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَه رواه أحمد
 Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Keislaman seseorang akan menghapus semua dosa sebelumnya". (HR. Ahmad, At-Tabarany dan Al-Baihaqi). 
Namun sebaliknya, bila ada seorang muslim murtad dari agama Islam. Lalu masuk lagi ke dalam agama Islam, maka shalat yang pernah ditinggalkannya wajib digantinya dengan qadha`. Sebagai hukuman untuknya dan juga karena kekufurannya sesaat itu tidak lah menggugurkan kewajibannya kepada Allah. Persis seperti hutang seseorang kepada sesama manusia. Tetap wajib dibayarkan meski seseorang murtad dari Islam.
Namun menurut pendapat kalangan Al-Hanafiyah, orang yang murtad tidak wajib untuk mengqadha` shalat yang ditinggalkannya, lantaran pada hakikatnya dia adalah seorang non muslim yang tidak wajib shalat.
2. Baligh
Seorang anak kecil yang belum mengalami baligh tidak wajib shalat. Dasarnya adalah sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ: رُفِعَ اَلْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ: عَنِ اَلنَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ, وَعَنِ اَلصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنِ اَلْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يَفِيقَ رَوَاهُ أَحْمَدُ
 Dari Ali radhiyallahu ‘anhu dan Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Pena telah diangkat dari tiga orang, dari seorang yang tidur hingga terjaga, dari seorang anak kecil hingga mimpi dan dari seorang gila hingga waras "(HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Hakim) 
Meskipun demikian, seorang anak kecil yang belum baligh tetap dianjurkan untuk diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih belum mau mengerjakannya setelah berusia 10 tahun. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ r مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فيِ المَضَاجِع‏ِ رواه أحمد وأبو داود
  Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Perintahkanlah anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka (anak-anak laki dan anak-anak perempuan)".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim) 
Namun perintah ini bukan untuk anak melainkan kepada para orang tua, yakni mereka diwajibkan untuk memerintahkan anaknya shalat pada usia 7 tahun. Sebagaimana firman Allah SWT :
 وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat itu adalah bagi orang yang bertakwa.".(QS. Thaha : 132)
3. Berakal
Orang yang tidak waras seperti gila, ayan dan berpenyakit syaraf tidak wajib mengerjakan shalat. Sebab orang yang demikian tidak sadar diri dan tidak mampu berpikir. Maka tidak ada beban kewajiban beribadah atas dirinya. Kewajiban shalat hanya ada pada saat mereka sadar dan waras, dimana terkadang memang seseorang tidak selamanya gila atau hilang akal. Namun begitu ketidak-sadaran atas dirinya datang, maka dia tidak wajib mengerjakan shalat.
Menurut jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat hilang kewarasannya, begitu sudah kembali ingatannya tidak wajib mengqadha` shalat. Namun hal itu berbeda dengan pendapat kalangan Al-Hanafiyah yang justru mewajibkannya mengqadha` shalat.
Sedangkan bila hilang akal dan kesadaran karena seseorang mabuk, maka dia wajib mengqadha` shalatnya, karena orang yang mabuk tetap wajib shalat. Demikian juga hal yang sama berlaku pada orang yang tidur, begitu dia bangun, wajiblah atasnya mengqadha` shalat yang terlewat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang lupa shalat hendaklah segera shalat begitu ingat. Tidak ada kaffarah atasnya kecuali hanya melakukan shalat itu saja".(HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga hal di atas adalah syarat-syarat wajib shalat, dimana bila syarat itu terpenuhi pada diri seseorang, wajiblah atasnya untuk melakukan shalat.
B. Syarat Sah Shalat
Sebagaimana dijelaskan di atas, syarat sah shalat adalah hal-hal yang harus terpenuhi sebelum seseorang mengerjakan shalat agar shalatnya menjadi sah hukumnya. Diantaranya adalah :
1. Mengetahui Bahwa Waktu Shalat Sudah Masuk
Bila seseorang melakukan shalat tanpa pernah tahu apakah waktunya sudah masuk atau belum, maka shalatnya itu tidak memenuhi syarat. Sebab mengetahui dengan pasti bahwa waktu shalat sudah masuk adalah bagian dari syarat sah shalat.
Bahkan meski pun ternyata sudah masuk waktunya, namun shalatnya itu tidak sah lantara pada saat shalat dia tidak tahu apakah sudah masuk waktunya atau belum.
Tidak ada bedanya, apakah seseorang mengetahui masuknya shalat dengan yakin atau sekedar berijtihad dengan dasar yang kuat dan bisa diterima.
Dasar keharusan adanya syarat ini adalah firman Allah SWT :
 إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa : 103)
2. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Hadats besar adalah haidh, nifas dan janabah. Dan untuk mengangkat / menghilangkan hadats besar harus dengan mandi janabah. Sedangkan hadats kecil adalah kondisi dimana seseorang tidak punya wudhu atau batal dari wudhu`nya. Dan untuk mengangkat hadats kecil ini bisa dilakukan dengan wudhu` atau bertayammum. Allah SWT berfirman :
 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْوَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.. (QS. Al-Maidah : 6)
Selain itu ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنِ ابنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ الله r قاَلَ : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat tanpa thaharah".(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
  عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُول الله r قَال : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَة امرِءٍ مُحْدِثٍ حَتَّى يَتَوَضَأ
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat seorang kamu bila berhadats sampai dia berwudhu`"(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmizy). 
3. Suci Badan, Pakaian dan Tempat Shalat Dari Najis
Tidak sah seseorang shalat dalam keadaan badannya terkena najis, atau pakaiannya atau tempat shalatnya. Sebelum berwudhu, wajiblah atasnya untuk menghilangkan najis dan mencucinya hingga suci. Setelah barulah berwudhu` untuk mengangkat hadats dan mulai shalat. Dalil keharusan Sucinya badan dari najis adalah
###
 "Bila kamu mendapat haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan bila telah usai haidh, maka cucilah darah dan shalatlah".(HR. Bukhari dan Muslim) 
§  Dalil keharusan sucinya pakaian dari najis adalah firman Allah SWT :
 وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu, bersihkanlah".(QS. Al-Muddatstsir : 4)

Ibnu Sirin mengatakan bahwa makna ayat ini adalah perintah untuk mencuci pakaian dengan air.
§  Dalil keharusan sucinya tempat shalat dari najis
Hadits yang menceritakan seorang arab badawi yang kencing di dalam masjid. Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk menyiraminya dengan seember air.
"Siramilah pada bekas kencingnya dengan seember air".(HR. )
4. Menutup Aurat
Tidak sah seseorang melakukan shalat bila auratnya terbuka, meski pun dia shalat sendirian jauh dari penglihatan orang lain. Atau shalat di tempat yang gelap tidak ada sinar sedikitpun.
Dalil atas kewajiban menutup aurat pada saat melakukan shalat adalah firman Allah SWT berikut ini :
  يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.".(QS. Al-A`raf : 31)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa yang dimaksud dengan perhiasan dalam ayat ini maksudnya adalah pakaian yang menutup aurat.
Selain itu ada hadits nabi yang menegaskan kewajiban wanita memakai khimar pada saat shalat.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ رواه الخمسة إلا النسائي
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat seorang wanita yang sudah mendapat haidh kecuali dengan memakai khimar.(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai). 
Khimar adalah kerudung yang menutup kepala seorang wanita.
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Asma`, bila seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk kepada wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Abu Daud - hadits mursal). 
Kewajiban menutup aurat ini berlaku bagi setiap wanita yang sudah haidh baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Kecuali di dalam rumahnya yang terlinding dari penglihatan laki-laki yang bukan mahramnya.
5. Menghadap ke Kiblat
Tidak sah sebuah ibadah shalat manakala tidak dilakukan dengan menghadap ke kiblat. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
 وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan dari mana saja kamu, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku . Dan agar Ku-sempurnakan ni'mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.(QS. Al-Baqarah : 150)
Pengecualian
Namun syarat harus menghadap ke kiblat ini tidak mutlak, karena masih ada beberapa pengecualian karena ada alasan yang memang tidak mungkin dihindari.
Pertama : shalat khauf
Dibolehkan tidak menghadap kiblat pada saat shalat khauf, yaitu shalat yang dilakukan pada saat perang menghadapi musuh. Maka bolehlah tidak menghadap kiblat tetapi malah menghadap ke arah dimana musuh berada. Kebolehan ini karena memang telah dilakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah dijelaskan teknisnya dalam hadits-hadits nabawi.
Kedua : shalat nafilah
Boleh tidak menghadap kiblat` pada saat shalat sunnah (nafilah) di atas kendaraan. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya.
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ رواه البخاري ومسلم ، وزاد البخاري : يُوْمِئُ والترمذي : وَلمَ يَكُنْ يَصْنَعُهُ فيِ المَكْتُوبَةِ
 Dari Amir bin Rabiah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di atas untanya dengan menghadap kemana pun arah untanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari menambahkan : “beliau membungkuk (saat rukuk dan sujud)”. At-Tirmizy berkata,”Namun beliau tidak melakukanya pada shalat wajib”.
Ketiga : dalam keadaan sakit
Al-Malikiyah dan Al-Hanafiyah memberikan kelonggaran lainnya yaitu bila seseorang dalam keadaan sakit yang parah dan membuatnya tidak bisa berubah posisi menghadap ke kiblat. Pada kondisi demikian, maka dibolehkan baginya shalat menghadap kemana saja yang dia mampu melakukannya.
Keharusan Berijtihad
Bila seseorang tidak tahu kemana arah kiblat, maka wajiblah baginya mencari tahu sebisanya dan berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mendapatkan informasi tentang arah kiblat. Meski pun hasilnya bisa berbeda-beda karena minimnya informasi. Hal itu tidak mengapa asalkan sudah berijtihad sebelumnya. Sebab dahullu para shahabat pernah mengalami kejadian dimana mereka shalat pada malam yang sangat gelap tanpa sinar sedikitpun dan juga tidak tahu arah kiblat. Lalu akhirnya mereka shalat menghadap ke arah apa yang mereka hayalkan saja. Saat Rasulullah diberitahu hal itu, beliau membaca firman Allah SWT :
 وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 115)□


Pertemuan 5

Rukun-rukun Shalat

Rukun adalah pondasi atau tiang pada suatu banguna. Bila salah satu rukunnya rusak atau tidak ada, maka bangunan itu akan roboh. Bila salah satu rukun shalat tidak dilakukan atau tidak sah dilakukan, maka keseluruhan rangkaian ibadah shalat itu pun menjadi tidak sah juga.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian ibadah. Sedangkan syarat adalah gerakan ibadah yang wajib dilakukan namun bukan bagian dari rangkaian gerakan ibadah.
A. Perbedaan Ulama Dalam Menentukan Rukun Shalat
Para ulama mazhab yang paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi bagian dari rukun shalat.
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun shalat hanya ada 6 saja. Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun shalat ada 14 perkara. As-Syafi`iyah menyebutkan 13 rukun shalat dan Al-Hanabilah menyebutkan 14 rukun.
Untuk lebih jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut ini yang kami buat berdasarkan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr. WAhbah Az-Zuhaily.
Table Perbandingan Rukun Shalat Antar Mazhab
No
Gerakan / Bacaan
Hanafi
Malik
Syafi`i
Hambali
1.
Niat
x
rukun
rukun
x
2.
Takbiratul-ihram
rukun
rukun
rukun
rukun
3.
Berdiri
rukun
rukun
rukun
rukun
4.
Membaca Al-Fatihah
rukun
rukun
rukun
rukun
5.
Ruku`
rukun
rukun
rukun
rukun
6.
I`tidal (bangun dari ruku`)
x
rukun
rukun
rukun
7.
Sujud
rukun
rukun
rukun
rukun
8.
Duduk Antara Dua Sujud
x
rukun
rukun
rukun
9.
Duduk Tasyahhud Akhir
rukun
rukun
rukun
rukun
10.
Membaca Tasyahhud Akhir
x
rukun
rukun
rukun
11.
Membaca Shalawat Atas Nabi
x
rukun
rukun
rukun
12.
Salam
x
rukun
rukun
rukun
13.
Tertib
x
rukun
rukun
rukun
14.
Tuma`ninah
x
rukun
x
rukun

B. Rincian Rukun Shalat
1. Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram maknanya adalah ucapan takbir yang menandakan dimulainya pengharaman. Yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat. Seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
 "dan Tuhanmu agungkanlah! (Bertakbirlah untuknya)" (QS. Al-Muddatstsir : 3)  
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r : مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ
 Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Khamsah kecuali An-Nasai)
 Dari Rufa`ah Ibnu Rafi` bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat serorang hamba hingga dia berwudhu` dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)
 "Bila kamu shalat maka bertakbirlah". (HR. Muttafaqun Alaihi)
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu Akbar,  artinya Allah Maha Besar. Sebuah zikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia kepada Sang Maha Pencipta. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram, maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
Lafaz ini diucapkan ketika semua syarat wajib dan syarat sah shalat terpenuhi. Yaitu sudah menghadap ke kiblat dalam keadaan suci badan, pakaian dan tempat dari najis dan hadats. Begitu juga sudah menutup aurat, tahu bahwa waktu shalat sudah masuk dan lainnya.
Jumhur ulama mengharamkan makmum memulai takbir permulaan shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir. Dengan dasar berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r قَالَ :إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا رواه الشيخان
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila dia bertakbir maka bertakbirlah (HR. Muttafaq Alaihi)  
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir bersama-sama dengan imam
2. Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat dengan dalil berdasarkan firman Allah SWT :
وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
 "...Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'." (QS. Al-Baqarah : 238)
Juga ada hadits nabawi yang mengharuskan berdiri untuk shalat
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ rعَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ رواه البخاري
 Dari `Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat seseorang sambil duduk, beliau bersabda,"Shalatlah dengan berdiri, bila tidak sanggup maka sambil duduk dan bila tidak sanggup sambil berbaring".(HR. Bukhari)
 Hadits ini juga sekaligus menjelaskan bahwa berdiri hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu berdiri. Sedangkan orang-orang yang tidak mampu berdiri, tidak wajib berdiri. Misalnya orang yang sedang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.
Bahkan orang sakit itu bila tidak mampu bergerak sama sekali, cukuplah baginya menganggukkan kepada saja menurut Al-Hanafiyah. Atau dengan mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat Al-Malikiyah. Bahkan As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan mengerakkan anggota tubuh itu di dalam hati.
Juga perlu diperhatikan bahwa kewajiban berdiri dalam shalat hanya berlaku untuk shalat fardhu saja. Sedangkan untuk shalat nafilah (sunnah) tidak diwajibkan berdiri meskipun mampu berdiri. Jadi seseorang diperbolehkan melakukan shalat sunnah dengan duduk saja tidak berdiri, meski badannya sehat dan mampu berdiri.
Para fuqaha mazhab sepakat mensyaratkan bahwa berdiri yang dimaksud adalah berdiri tegak. Tidak boleh bersandar pada sesuatu seperti tongkat atau tembok, kecuali buat orang yang tidak mampu. Terutama bila tongkat atau temboknya dipisahkan, dia akan terjatuh. Adapun As-Syafi`iyah tidak mengharamkan melainkan hanya memakruhkan saja. Dan Al-Malikiyah hanya mewajibkan berdiri tegak tanpa bersandar kepada benda lain pada saat membaca Al-Fatihah saja. Sedangkan di luar bacaan Al-Fatihah dibolehkan bersandar.
3. Membaca Al-Fatihah
Jumhur ulama menyebutkan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dimana shalat seseorang tidak sah tanpa membacanya. Dengan dalil kuat dari hadits nabawi :
وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r  لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran"(HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)
a. Mazhab As-Syafi`i
Mazhab As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja. Kerena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar). 
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku`. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat.[7]
b. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa Al-Fatihah itu bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah boleh. Sebab yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah semua hal yang wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib dikerjakan dalam shalat wajib maupun shalat sunnah. Sehingga dalam tolok ukur mereka, membaca surat Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat, sebab seorang makmum yang tertinggal tidak membaca Al-Fatihah tapi sah shalatnya. Bahkan makmum shalat dimakruhkan untuk membaca Al-Fatihah karena makmum harus mendengarkan saja apa yang diucapkan imam.
Selain itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran diperintahkan membaca ayat Quran yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
  ...maka bacalah apa yang mudah dari Al Qur'an (QS. Al-Muzzamil : 20)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat itu kecuali dengan membaca al-Quran".(HR. Muslim)
Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma nazhar, dimana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun, dha` dan ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek. [8]

Bacaan Basmalah : Khilaf para ulama, apakah bagian dari Al-Fatihah atau bukan?
Menurut mazhab As-Syafi`iyah, lafaz basmalah (bismillahirrahmanirrahim) adalah bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا قَرَأْتُمْ اَلْفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا : ( بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ ) , فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا   رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu membaca alhamdulillah (surat Al-Fatihah), maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena Al-Fatihah itu ummul-Quran`, ummul-kitab, sab`ul-matsani. Dan bismillahirahmanir-rahim adalah salah satu ayatnya". (HR. Ad-Daruquthuny).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah. Dan dalam kitab Al-Majmu` ada 6 orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.[9]
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr). Bila kita perhatikan imam masjidil al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali.  
4. Ruku`
 Ruku` adalah gerakan membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lulut kaki. Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan meluruskan punggungnya, sehingga bila ada air di punggungnya tidak bergerak karena kelurusan punggungnya.
Perintah untuk melakukan rukuk adalah firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
"Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj : 77)
Dan juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ رَأَيْتُهُ إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ruku` meletakkan tangannya pada lututnya." (HR. Muttafaqun Alaihi)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila ruku` tidak mengangkat kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara keduanya".
Untuk sahnya gerakan ruku`, posisi seperti ini harus terjadi dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke ruku` tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada posisi ruku` yang disebut dengan istilah thuma`ninah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَبيِ قَتَادَةَ أَنّ الَّنِبيَّ r قَالَ أَسْوَءُ النَّاسِ سَرِقَةً الذِّي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ  قِيْلَ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا وَلاَ خُشُوْعَهَا رواه أحمد والحاكم
 Dari Abi Qatadha berkata bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Pencuri yang paling buruk adalah yang mencuri dalam shalatnya". Para shahabat bertanaya,"Ya Rasulallah, bagaimana mencuri dalam shalat?". "Dengan cara tidak menyempurnakan ruku` dan sujudnya". atau beliau bersabda,"Tulang belakangnya tidak sampai lurus ketika ruku` dan sujud". (HR. Ahmad, Al-Hakim, At-Thabarany, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban)
Para ulama fiqih menyebutkan bahwa perbedaan ruku`nya laki-laki dan wanita adalah pada letak tangannya. Laki-laki melebarkan tangannya atau merenggangkan antara siku dengan perutnya. Sedangkan wanita melakukan sebaliknya, mendekatkan tangannya ke tubuhnya[10].
5. I`tidal
I`tidal adalah gerakan bangun dari ruku` dengan berdiri tegap dan merupakan rukun shalat yang harus dikerjakan menurut jumhur ulama.
Kecuali pendapat Al-Hanafiyah yang agak tidak kompak sesama mereka. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa i`tidal tidak termasuk rukun shalat, melainkan hanya kewajiban saja. Sebab i`tidal hanyalah konsekuensi dari tuma`ninah. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang menyebutkan hanya ruku` dan sujud tanpa menyebutkan i`tidal.
 
 "Dan ruku` lah dan sujudlah" (QS. Al-Hajj : 77)
Namun sebagian ulama mazhab ini seperti Abu Yusuf dan yang lainnya mengatakan bahwa i`tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka, bila seseorang shalat tanpa i`tidal maka shalatnya batal dan tidak sah
6. Sujud
 Secara bahasa, sujud berarti
§  al-khudhu` (الخضوع)
§  at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
§  al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar`i, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
Pensyariatan Sujud
Al-Quran Al-Kariem memerintahkan kita untuk melakukan sujud kepada Allah SWT. Dasarnya adalah hadits nabi :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r  أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ , وَالرُّكْبَتَيْنِ , وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
 Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.(HR. Bukhari dan Muslim [11](
Manakah yang lebih dahulu diletakkan, lutut atau tangan?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di kalangan ulama.
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini. 
عَنْ وَائِل بن حُجْر قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه الخمسة إلا أحمد
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)[12]
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang disunahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini : 
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ قال قال رسول الله إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّرُكْبَتَيْهِ-رواه أحمد والنسائي والترمذي
Dari Abi Hurariah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya. Maka demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.
7. Duduk Antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud adalah rukun menurut jumhur ulama dan hanya merupakan kewajiban menurut Al-Hanafiyah. Posisi duduknya adalah duduk iftirasy, yaitu dengan duduk melipat kaki ke belakang dan bertumpu pada kaki kiri. Maksudnya kaki kiri yang dilipat itu diduduki, sedangkan kaki yang kanan dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap ke kiblat. Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan menjulurkan jari-jarinya.
8. Duduk Tasyahhud Akhir
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti pada iftirasy.
Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy. Dalilnya adalah hadits berikut : 
عَنْ وَائِل بنِ حجر قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَسَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى – رواه الترمذي
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau duduk (tasyahhud), beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan menashabkan kakinya yang kanan". (HR. Tirimizy)[13]
Ada pun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :  Dari Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk
9. Salam Pertama
Ada dua salam, yaitu salam pertama dan kedua. Salam pertama adalah fardhu shalat menurut para fuqaha, seperti Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah. Sedangkan salam yang kedua bukan fardhu melainkan sunnah.
Namun menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu, kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur. Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam yang pertama saja[14].
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun shalat yang juga berfungsi sebagai penutup shalat. Dalilnya adalah :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r : مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
 Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)[15]
Menurut As-Syafi’i, minimal lafadz salam itu adalah (السلام عليكم), cukup sekali saja. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan lafadz (السلام عليكم ورحمة الله), dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tidak disunnahkan untuk meneruskan lafadz (وبركاته) menurut Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dengan dalil :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ - رواه الخمسة وصححه الترمذي
Dari Ibni Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi salam ke kanan dan ke kiri : Assalamu ‘alaikum warahmatullah Assalamu ‘alaikum warahmatullah, hingga nampak pipinya yang putih. (HR. Khamsah)[16]
Selain sebagai penutup shalat, salam ini juga merupakan doa yang disampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya, bila tidak ada maka diniatkan kepada jin dan malaikat.[17]
10. Thuma`ninah
Menurut jumhurul ulama’, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, tuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud[18].
عَنْ حُذَيْفَة أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَة: مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – رواه أحمد والبخاري
Dari Hudzaifah ra bahwa beliau melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari shalatnya, beliau memanggil orang itu dan berkata kepadanya,”Kamu belum shalat, bila kamu mati maka kamu mati bukan di atas fitrah yang telah Allah tetapkan di atasnya risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Bukhari)[19]

11. Tertib



Pertemuan 6

Sunnah-sunnah Shalat

1. Mengangkat kedua tangan saat takbiratul Ihram
Al-Malikiyah dan As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan saat takbiratul ihram, yaitu setinggi kedua pundak. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya saat memulai shalatnya (HR. Muttafaq 'Alaihi)
Dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa laki-laki mengangkat tangan hingga kedua telinganya sedangkan wanita mengangkat sebatas pundaknya saja. Dalilnya adalah :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, lalu bertakbir dan meluruskan kedua tanggannya setinggi kedua telinganya.(HR. Muslim)[20]
Dari Al-Barra' bin Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila shalat mengangkat kedua tanggannya hingga kedua jempol tangannya menyentuh kedua ujung telinganya (HR. Ahmad, Ad-Daruquthny)
Sedangkan Al-Hanabilayh menyebutkan bahwa seseorang boleh memilih untuk demikian atau mengangkat tangannya hingga kedua ujung telinganya. Dalilnya adalah bahwa keduanya memang punya dasar hadits yang bisa dijadikan sandaran. Saat mengangkat kedua tangan, dianjurkan agar jari-jari terbuka tidak mengepal, sebagaimana pendapat jumhur. Serta menghadap keduanya ke arah kiblat.
2. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri
Jumhur ulama selain Al-Malikiyah mengatakan bahwa disunnahkan untuk meletakkan tapak tangan kanan di atas tapak tangan kiri. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, lalu bertakbir dan meletakkan tangan kanannya di atas tapak tangan kirinya, atau pergelangannya atau lengannya (antara siku hingga pergelangan tangan)(HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa'i)
Sedangkan dimana diletakkan kedua tangan itu, para ulama sejak dahulu memang berbeda pendapat. Ada yang mengatakan di bawah pusat, ada juga yang mengatakan di antara dada dan pusat, dan ada juga yang mengatakan di dada.
a. Di bawah pusat
Mereka yang mengatakan bahwa posisi tangan itu di bawah pusat diantaranya adalah Al-Hanafiyah, dengan landasan hadits berikut ini :
Diriwayatkan dari Ali bin abi Thalib ra,"Termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib ini merujuk kepada praktek shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana beliau menyaksikannya.
b. Di antara pusat dan dada
Diantara yang berpendapat demikian adalah Asy-syafi'iyah. Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ t قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ r فَوَضَعَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ اَلْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ أَخْرَجَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu berakta,”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dan meletakkan kedua tangannya di atas dada.(HR. Ibnu Khuzaemah)[21]
Sedangkan Al-Malikiyah tidak menganggap meletakkan tangan di atas dada dan lainnya itu sebagai sunnah. Bagi mazhab ini, posisi tangan dibiarkan saja menjulur ke bawah. Bahkan mereka mengatakan bahwa hal itu kurang disukai bila dilakukan di dalam shalat fardhu 5 waktu, namun dibolehkan bila dilakukan dalam shalat sunnah (nafilah).
3. Melihat ke tempat sujud
As-Syafi'iyah dan para ulama lainnya mengatakan bahwa melihat ke arah tempat sujud adalah bagian dari sunnah shalat. Sebab hal itu lebih dekat ke arah khusyu'. Selain itu memang ada dalilnya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat, tidak melihat kecuali ke arah tempat sujudnya. (Hadits Dhaif, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini tidak diketahuinya)
Kecuali saat tahiyat, maka pandangan diarahkan ke jari tangan kanannya. Sebagaimana hadits berikut :
Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kirinya lalu menunjuk dengan telunjuknya dan pandangan matanya tidak lepas dari telunjuknya itu". (HR. Ahmad, An-Nasai, Abu Daud)
4. Doa istiftah (doa tsana`)
Doa istiftiftah juga seringkali disebut dengan doa iftitah atau do'a tsana'. Semuanya merujuk pada lafadz yang sama. Hukum membacanya adalah sunnah menurut jumhur ulama, kecuali Al-Malikiyah yang menolak kesunnahannya.
Sedangkan lafadznya memang sangat banyak versinya. Dan bisa dikatakan bahwa semuanya bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
عَنْ عُمَرَ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ :سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ , تَبَارَكَ اِسْمُكَ , وَتَعَالَى جَدُّكَ , وَلا إِلَهُ غَيْرُكَ رَوَاهُ مُسْلِمٌ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ مَوْصُولاً وَهُوَ مَوْقُوفٌ
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membaca : “Maha suci Engaku dan segala puji untuk-Mu. Diberkahilah asma-Mu, tinggilah keagungan-Mu. Dan tiada tuhan kecuali Engkau.(HR. Muslim)[22]
Lafaz ini diriwayatkan oleh Asiyah radhiyallahu ‘anhu dengan perawi Abu Daud dan Ad-Daruquthuny.
وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ r أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى اَلصَّلاةِ قَالَ : "وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَّرَ اَلسّمَوَاتِ " . . . إِلَى قَوْلِهِ : "مِنْ اَلْمُسْلِمِينَ , اَللَّهُمَّ أَنْتَ اَلْمَلِكُ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ , أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ . . .  إِلَى آخِرِهِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bila berdiri untuk shalat membaca :”Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku termasuk bagian dari orang-orang muslim.(HR. Muslim)
Lafaz ini sampai kepada kita lewat perawi yang kuat seperti Imam Muslim, Ahmad dan Tirmizy dan dishahihkan oleh Ali bin Abi Thalib. Lafaz ini sebenarnya juga lafadz yang juga ada di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem, kecuali bagian terakhir tanpa kata "awwalu".
Selain itu juga ada lafdaz lainnya seperti di bawah ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ :كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا كَبَّرَ لِلصَّلاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً , قَبْلِ أَنْ يَقْرَأَ , فَسَأَلْتُهُ , فَقَالَ : "أَقُولُ : اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ , اَللَّهُمَّ نقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى اَلثَّوْبُ اَلابْيَضُ مِنْ اَلدَّنَسِ , اَللَّهُمَّ اِغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila bertakbir memulai shalat, beliau diam sejenak sebelum mulai membaca (Al-Fatihah). Maka aku bertanya padanya dan beliau menjawab,”Aku membaca : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engaku mensucikan pakaian dari kotoran. Ya Allah, mandikan aku dengan air, salju dan embun". (HR. Muttafaq ‘alaihi)
5. Mengucapkan Amin
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini
وَعَنْ نُعَيْمٍ اَلْمُجَمِّرِ t قَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ : (بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ) . ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ , حَتَّى إِذَا بَلَغَ : (وَلا اَلضَّالِّينَ) , قَالَ : "آمِينَ" وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ , وَإِذَا قَامَ مِنْ اَلْجُلُوسِ : اَللَّهُ أَكْبَرُ . ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لاشْبَهُكُمْ صَلاةً بِرَسُولِ اَللَّهِ r رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ 
Dari Nu;aim Al-Mujammir radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku shalat di belakang Abu Hurairah, beliau membaca : bismillahirrahmanirrahim. Kemudian beliau membaca ummul-quran (Al-Fatihah), hingga beliau sampai kata (waladhdhaallin) beliau mengucapkan : Amien. Dan beliau mengucapkannya setiap sujud. Dan bila bangun dari duduk mengucapkan : Allahu akbar. Ketika salam beliau berkata : Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, aku adalah orang yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaemah).
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Apabila imam mengucapkan "Amien", maka ucapkanlah juga. Siapa yang amin-nya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, maka Allah mengampunkan dosa-dosanya yang telah lampau.(HR. Jamaah kecuali At-Tirmizy)
6. Merenggangkan kedua tumit
Disunnahkan merenggangkan kedua tumit saat berdiri kira-kira selebar 4 jari. Sebab posisi yang demikian sangat dekat dengan khusyu'. Sedangkan Imam As-syafi'i mengatakan bahwa jaraknya kira-kira sejengkal. Dan makruh untuk menempelkan keduanya karena menghilangkan rasa khusyu'.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan disunnahkan untuk merenggangkannya tapi tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat.
7. Membaca sebagian surat Quran setelah membaca Al-Fatihah
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Zhuhur pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Terkadang beliau mendengarkan ayat. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Ashar pada dua rakaatnya yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Dan beliau beliau memanjangkannya di rakaat pertama shalat shubuh dan memendekkannya di rakaat kedua. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dari Abu Bazrah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat shubuh dari 60-an ayat hingga 100-an ayat.". (HR. Muttafaqun 'alaihi)
8. Takbir ketika ruku`, sujud, bangun dari  sujud dan berdiri dari sujud.
Dasrnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri atau duduk". (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizy dengan status shahih).
Kecuali pada saat bangun dari ruku', maka bacaannya adalah "Sami'allahu liman hamidah". Maknanya, Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya.
9. Meletakkan kedua lutut lalu kedua tangan kemudian wajah ketika turun sujud dan sebaliknya
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Kedua pendapat yang anda tanyakan itu masing-masing memiliki dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Baik yang mengatakan tangan dulu baru lutut atau yang sebaliknya, lutut dulu baru tangan.
Pendapat Pertama: Tangan lebih dulu.
Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,”bila kamu sujud, maka janganlah duduk seperti cara duduknya unta. Hendaklah dia meletakkan tangannya terlebih dahulu sebelum lututnya.
Para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu sebelum lutut diantaranya adalah: Al-Hadawiyah, Imam Malik menurut sebagian riwayat dan Al-auza‘i.
Pendapat Kedua: Lutut lebih dulu. Dari Wail bin Hujr berjata,”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkanb kedua lututnya sebelum tangannya.
Sedangkan para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu sebelum lutut diantaranya adalah: mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat mazhab Imam Malik.
Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa tangan yang diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut karena menurut anggapa nmereka hadits yang digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak konsistenan. Yaitu disebutkan bahwa jangan duduk seperti duduknya unta, lalu diteruskan dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebhi dahulu. Hal ini justru bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu baru kaki belakang. Sedangkan perintahnya jangan menyamai unta, artinya seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa ada kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-bukhari ini. Yaitu tebaliknya perintah, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut terlebih dahulu bahru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafaz dalam hadits bukan hal yang tidak mungkin.
10. Sunnah dalam sujud
Disunnahkan untuk memperbanyak doa pada saat sujud. Dengan dalil sunnah beriku ini.
Seorang hamba terdekat dengan tuhannya pada saat sedang sujud, maka perbanyaklah doa pada saat sujud itu, pastilah akan dikabulkan".(HR. Muslim)
Dari Abi Said radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Muaz, bila kamu meletakkan wajahmu dalam sujud, katakanlah : Ya Allah, tolonglah aku untuk bersyukur dan beribadah dengan baik kepada-Mu."
11. Doa saat duduk di antara dua sujud
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah, doa yang dibaca ketika duduk antara 2 sujud adalah lafadz berikut ini.
 رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنيِ وَعَافِنيِ
Artinya : Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikah aku kekuatan, angkatlah aku, beri aku rezeki, tunjuki aku dan sehatkan aku".
Dalilnya adalah riwayat berikut ini :
Dari Huzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa dirinya shalat bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengucapkan antara dua sujud : Rabbighfirli".(HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
12. Bertasyahhud awal
13. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha.
14. Shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir
Mazhab As-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya sunnah menurut As-Syafi`iyah dan hukumnya wajib menurut Al-Hanabilah.[23]
Sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, membaca shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir hukumnya sunnah.[24]
Adapun lafaz shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah :
Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa shallaita `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Wa baarik `ala `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad, kamaa barakta `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Innaka hamidun majid.(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Artinya : Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Agung.
* Masalah penggunaan lafaz Sayyidina
Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah menyunnahkan penggunaan kata [sayyidina] saat mengucapkan shalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (shalawat Ibrahimiyah). Landasannya adalah bahwa penambahan kabar atas apa yang sesungguhnya memang ada merupakan bagian dari suluk adab. Jadi lebih utama digunakan dari pada ditinggalkan. [25]
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,`Janganlah kamu memanggilku dengan sebuatan sayyidina di dalam shalat`, adalah hadits maudhu` (palsu) dan dusta.[26]
15. Doa sesuadah shalawat pada tasyahhud akhir
Diantara doa yang masyhur dan ma`tsur (diwariskan dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah lafaz berikut ini :
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar.
Atau lafaz berikut ini
Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira, wa innahu la yaghfiruz-zunuba illa anta, faghfirli maghfiratan min indika, warhamni innaka antal ghafururrahim. (HR. Bukhari dan Muslim)[27]
Artinya : Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri dengan kezaliman yang besar. Tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa itu kecuali Engkau. Maka ampunilah diriku dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah diriku ini karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (HR. Bukhari dan Muslim dan lafaznya dari Muslim)
Atau lafaz ini
Allahumma inni audzu bika min azabi jahannam, wa min azabil qabri, wa min fityatil mahya wa mamat, wa min syarri fitnati masihid-dajjal.
Artinya : Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari dari azab jahannam, dan dari azab kubur, dan dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati, dan dari fitnah al-masih Dajjal.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian telah selesai dari tasyahhud akhir maka berlindunglah kepada Allah dari empat hal : [1] dari azab jahannam, [2] dari azab kubur, [3] dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati, [4] dari fitnah al-masih Dajjal.
Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk membaca doa ini dalam tasyahhud akhir.[28]
16. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat mengucap dua salam
Dari Said bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata,`Aku melihat NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri hingga terlihat putih pipi beliau`.(HR. Muslim)
Dalam lain riwayat disebutkan
`NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan hingga terlihat putih pipi beliau dan melakukan salam ke kiri hingga terlihat putih pipi beliau`.(HR. Ad-Daruquthuny)
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa ketika memulai lafaz salam (assalamu `alaikum), wajah masih menghadap kiblat. Ketika mengucapkan (warahmatullah), barulah menoleh ke kanan dan ke kiri.
17. Melirihkan salam yang kedua
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan untuk melirihkan ucapan salam kedua dan mengeraskan ucapan salam yang pertama. Demikian juga dengan Al-Malikiyah, mereka mengatakan disunnahkan untuk melirihkan salam yang kedua dan menjaharkan salam yang pertama, baik sebagai imam, sebagai makmum atau pun bila shalat sendiri.
18. Menunggu bagi masbuq hingga imam selesai dengan dua salamnya
Disunnahkan bagi makmum untuk tidak segera mengucapkan salam kecuali setelah imam selesai dengan kedua salamnya. Hal itu dikarenakan untuk berjaga-jaga apabila ternyata imam masih akan melakukan sujud sahwi. Menunda salam bagi makmum hingga imam selesai dengan kedua salamnya adalah sunnah menurut Al-Hanafiyah.
19. Khusyu`, tadabbur dalam bacaan shalat dan zikir
AL-Imam As-Syafi`i menyebutkan bahwa disunnahkan untuk melakukan shalat dengan khusyu` serta tadabbur (merenungkan) bacaan Al-Quran pada shalat. Termasuk juga bacaan-bacaan lain (zikir) dalam shalat. Beliau juga menyunnahkan untuk memulai shalat dengan segenap konsentrasi, mengosongkan hati dari segala pikiran duniawi, karena hal itu lebih memudahkan seseorang untuk bisa khusyu` dalam shalatnya.□


Pertemuan 7

 Hal-hal Yang Membatalkan Shalat

Di antara ha-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang telah dijabarkan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut :
1. Berbicara
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata,"Dahulu kami bercakap-capak pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman Allah SWT "Peliharalah semua shalat, dan shalat wusthaa . Berdirilah untuk Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
2. Makan dan Minum
3. Banyak Gerakan dan Terus Menerus
Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang terus. Mazhab As-syafi'i memberikan batasan sampai tiga kali gerakan berturut-turut sehingga seseorang batal dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan shalat. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil menggendong anak (cucunya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil mengendong Umamah, anak perempuan dari anak perempuannya. Bila beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sujud, anak itu diletakkannya dan bila berdiri digendongnya lagi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah orang yang sedang shalat untuk membunuh ular dan kalajengking (al-aswadain). Dan beliau juga pernah melepas sandalnya sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu tidak termasuk yang membatalkan shalat.
4. Tidak Menghadap Kiblat
Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga badannya bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang sedang shalat itu, menurut kalangan As-Syafi'iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat ditandai oleh posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan dari seluruh tubuhnya.
Kecuali pada shalat sunnah, dimana menghadap kiblat tidak menjadi syarat shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukannya di atas kendaraan dan menghadap kemana pun kendaraannya itu mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat wajib belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya tidak menghadap kiblat.
5. Terbuka Aurat Secara Sengaja
Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba terbuka auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka sekilas dan langsung ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya, kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya. Namun hal ini tidak berlaku.
6. Mengalami Hadts Kecil atau Besar
Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal pula shalatnya. Baik terjadi tanpa sengaja atau secara sadar.
Namun harus dibedakan dengan orang yang merasa ragu-ragu dalam berhadats. Para ulama mengatakan bahwa rasa ragu tidak lah membatalkan shalat. Shalat itu baru batal apabila memang ada kepastian telah mendapat hadats.
7. Tersentuh Najis baik pada Badan, Pakaian atau Tempat Shalat
Bila seseorang yang sedang shalat terkena benda najis, maka secara langsung shalatnya menjadi batal. Namun yang dijadikan patokan adalah bila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya. Adapun tempat shalat itu sendiri bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan.
Demikian juga bila ada najis yang keluar dari tubuhnya hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukuran, maka hal itu tidak membatalkan shalat.
8. Tertawa
Orang yang tertawa dalam shalatnya, batallah shalatnya itu. Maksudnya adalah tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Adapun bila sebatas tersenyum, belumlah sampai batal puasanya.
9. Murtad, Mati, Gila atau Hilang Akal
Orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad, maka batal shalatnya. Demikian juga bila mengalami kematian. Dan orang yang tiba-tiba menjadi gila dan hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga batal.
10. Berubah Niat
Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba terbetik niat untuk tidak shalat di dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal. Sebab niatnya telah rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan shalatnya.
11. Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan, maka shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Misalnya, seseorang lupa tidak membaca surat Al-Fatihah lalu langsung ruku', maka shalatnya menjadi batal.
Kecuali dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah ditentukan bahwa imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk, dibolehkan langsung ikut ruku' bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan), dengan pendapat yang mengataka bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya, tidak membatalkan shalat.
12. Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah
Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan imam, seperti bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya. Namun bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak termasuk yang membatalkan shalat.
AS-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat adalah bila mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan rukun dalam shalat. Hal yang sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari gerakan imam.
13. Terdapatnya Air bagi Orang yang Shalatnya dengan Tayammum
Seseorang yang bertayammum sebelum shalat, lalu ketika shalat tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan berwudhu', maka shalatnya batal. Dia harus berwudhu' saat itu dan mengulangi lagi shalatnya.
14. Mengucapkan Salam Secara Sengaja
Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar, maka shalatnya batal. Dasarnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri shalat. Kecuali lafadz salam di dalam bacaan shalat, seperti dalam bacaa tahiyat. □


Pertemuan 8

Shalat Berjamaah

Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah disyariatkannya banyak bentuk ibadah dengan cara berjamaah, sehingga bisa menjadi representasi sebuah muktamar Islam, dimana umat Islam berkumpul bersama pada satu tempat dan satu waktu. Mereka bisa saling bertemu, bertatap muka, saling mengenal dan saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan mereka bisa saling belajar atas apa yang telah mereka pahami.
Allah telah memerintahkan umat Islam untuk berjamaah terutama dalam beribadah kepada-Nya. Maka redaksional perintahnya pun datang dengan bentuk jamak.
يَآيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.(QS. Al-HAjj : 77-78)

Umat Islam berdiri di hadapan tuhan mereka pun secara berjamaah, hal itu tercermin dalam ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah yang juga menggunakan kata `kami`.
 Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.(QS. Al-Fatihah : 6-7)
A. Sejarah Shalat Jamaah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jamaah, namun siang hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu memang belum ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam rangka shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu Jibril shalat menjadi imam buat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menjadi imam buat para shahabat lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan dikumandangkannya Adzan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal radhiyallahu ‘anhu untuk berAdzan dengan sabdanya :
Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang diperintahkan Abdullah bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya. (HR. Bukhari)
B. Anjuran untuk Shalat Berjamaah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh kali`. (HR Muslim)[29]
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari[30] dalam kitab adzan telah menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan seseorang shalat berjamaah dengan yang shalat sendirian. Diantaranya adalah ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal waktu, berjalannya menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk bericadah, adanya pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun shalat, keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya.
Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat dengan cara sendirian di rumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga keterangan yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga dibandingkan dengan shalat sendirian.
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya, kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan kesalahannya hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia...". (HR. Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 Dari Abi Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud dan Nasai)[31]
 Dari Ibnu Mas`ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR. Muslim)  
 Dari Ibni Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk shalat, maka tidak ada shalat baginya. Kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Al-Hakim)[32]
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)[33]
C. Siapakah Yang Disyariatkan Untuk Shalat Jamaah
Telah disyariatkan untuk menjalankan shalat 5 waktu secara berjamaah kepada orang-orang dengan kriteria berikut ini :
1. Muslim laki-laki, sedangkan wanita tidak wajib untuk shalat berjamaah secara ijma`.
Shalat berjamaah hanya sunnah saja bagi wanita. Itupun bila aman dari fitnah serta adanya jaminan terjaganya adab-adab mereka untuk pergi ke masjid.
2. Merdeka, sedangkan budak tidak diwajibkan untuk shalat berjamaah.
3. Orang yang tidak punya halangan / uzur syar`i.
4. Hanya untuk shalat fardhu yang 5 waktu saja,
Sedangkan shalat jamaah lainnya yang hukumnya sunnah tidak wajib dihadiri. Seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` atau shalat gerhana matahari dan bulan.
D. Kapan Seorang Masbuq Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah yang afdhal adalah dilakukan bersama imam sejak mula sebelum imam memulai shalat. Bahkan sejak mendengar panggilan Adzan. Namun bila ada seorang masbuq (yang munyusul) sebuah shalat berjamaah, sampai batas manakah dia masih bisa mendapat shalat berjamaah dan keutamaannya?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa minimal seorang makmum harus mendapatkan satu rakaat sempurna bersama imam. Sedangkan yang lain mengatakan minimal seorang makmum ikut satu kali takbir bersama imam. Lebih dalam lagi kammi uraikan berikut ini.
1. Pendapat Pertama : minimal ikut satu rakaat terakhir
Sebagian ulama mengatakan bahwa bila makmum itu masih bisa ikut satu rakaat penuh bersama imam, maka dia termasuk mendapatkan shalat berjamaah. Diantara yang berpendapat demikian seperti para ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah, Al-Ghazali dari kalangan mazhab Asy-Syafi`iyah, sebuah riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal, zahir pendapat Ibnu Abi Musa, Ibnu Taymiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab serta Syeikh Abdurrahman bin As-Sa`di.
Adapun dasar pendapat mereka antara lain dalil-dalil berikut ini:
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia mendapatkan shalat`.(HR. Bukhari 1/145 Muslim 1/423 dan lafazh hadits ini oleh Muslim).
 Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat dalam shalat jumat atau shalat lainnya, maka dia mendapatkan shalat`.(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)[34]
Ibnu Taymiyah menambahkan bahwa bila seorang makmum ikut sebuah shalat jamaah tapi kurang dari satu rakaat bersama imam, tidak bisa dikatakan telah ikut shalat jamaah. Sebab gerakan yang kurang dari satu rakaat tidak bisa dihitung sebagai rakaat shalat, sehingga bila makmum hanya mendapatkan kurang dari satu rakaat bersama imam, yaitu baru masuk ke dalam shalat setelah imam bangun dari ruku` pada rakaat terakhir, maka dia dianggap tidak mendapatkan shalat jamaah, meski pun pada gerakan terakhir sempat shalat bersama imam.
2. Pendapat Kedua : minimal ikut satu takbir terakhir
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa bila makmum masih mendapatkan satu takbir terakhir sebelum imam mengucapkan salam, maka dia mendapatkan shalat berjamaah.
Yang berpedapat seperti ini antara lain adalah ulama kalangan Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah serta riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad bin Hanbal beserta para murid beliau. (lihat kitab Hasyiatu Ibnu Abidin jilid 2 halaman 59, kitab Al-Majmu` jilid 4 halaman 151 serta kitab Al-Inshaf jilid 2 halaman 221).
Adapun dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah hadits-hadits berikut ini :
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian menjalankan shalat janganlah mendatanginya dengan berlari, tapi berjalan saja. Kalian harus melakukannya dengan sakinah (tenang), apa yang bisa kamu dapat lakukanlah dan apa yang tertinggal sempurnakanlah.`(HR. Muslim)[35].
Dari hadits ini bisa dikatakan bahwa siapa yang ikut shalat jamaah pada saat imam sedang sujud atau duduk tasyahhud akhir, disebutkan telah mendapatkan shalat berjamaah, tinggal dia menggenapkan apa-apa yang tertinggal. Karena itulah bila dia masih mendapatkan satu kali takbir imam yang terakhir sebelum salam, yaitu takbir ketika bangun dari sujud terakhir sebelum tasyahhud akhir, maka dia dikatakan sudah ikut shalat jamaah.
E. Hukum Shalat Berjamaah
Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah muakkadah.
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama : Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi disebutkan bahwa :
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah :
 Dari Abi Darda` radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya". (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
 Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,`Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua menjadi imam.(HR. Muslim 292 - 674)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim 650,249)
Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini[36].
2. Pendapat Kedua : Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat.[37]
Dalilnya adalah hadits berikut :
 Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya[38].  
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap sah.
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)[39].
3. Pendapat Ketiga : Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani[40]. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib[41].
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah[42].
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah[43]. Ad-Dardir  berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah[44].
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)[45]
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini :
 Dari Abi Musa radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda,`Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. [46]
4. Pendapat Keempat : Syarat Sahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah dalam salah satu pendapatnya[47]. Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah[48]. Termasuk diantaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
 Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAw bersaba,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)[49]
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR. Bukhari dan Muslim)[50]
 Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata,"Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya,`Apakah kamu dengar adzan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Muslim)

Kesimpulan :
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.□


Pertemuan 9

Shalat Jumat

A. Pensyariat Shalat Jumat
Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem, As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma` (kesepaktan) seluruh ulama. Sehingga siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir karena mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Pensyariatan Oleh al-Quran
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah. Disana Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu’ah : 9)
2. Pensyariatan Oleh As-Sunnah
Ada banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيضٌ  رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)[51]

مَنْ تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang meninggalkan 3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ  ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum’at termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim [52] berkata: “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang munkar”.
B. Yang Diwajibkan Atasnya Untuk Shalat Jumat
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat Islam, dengan kriteria sebagai berikut :
1.             Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
2.             Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak wajib shalat jumat.
3.             Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak wajib shalat jumat.
4.             Mukimin yaitu orang yang menetap bukan musafir atau yang sedang dalam perjalanan.
5.             Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
Demkian dijelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd Al-Hafid pada jilid 1 hal 380. Sehingga orang-orang berikut ini yang telah disebutkan dalam nash sebagai pengecualian. Mereka ini tidak diwajibkan shalat jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu :
§  Para budak
§  Wanita
§  Anak-anak
§  Orang Sakit
§  Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah disebutkan di atas, yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu Daud)[53]
C. Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di dalam masjid atau di dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang pasir, pedalaman atau tempat-tempat yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu, orang-orang yang tinggal di badiyah (luar kota) harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk bisa ikut shalat Jumat. Sebab shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar wilayah pemukiman yang dihuni masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat Jumat dimanapun[54].
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh sedangkan jumlah orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung lagi, boleh membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara statistik, jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat seluruh kaum muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan besar adalah kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan shalat berjamaah. Jadi memang jumlah masjid itu kurang cukup dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat shalat jumat, asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak ‘disulap’ menjadi masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian pendapat, tempat itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid. Karena itu berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila ada pendapat yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak mutlak kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan mashlahat dan kepentingan umat.
D. Jumlah Minimal Jama`ah Jum`at
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak ada 15 pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah jamaah dalam shalat Jumat[55].
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan berati setiap beberapa orang boleh menyelenggarakan sendiri-sendiri dengan 2 atau 3 orang. Bukan demikian pengetianya, tetapi bila memang tidak ada lagi orang muslim lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapa bahwa shalat Jum’at boleh dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang mendengarkan khutbah tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan pendapat sebagian ulama[56].
Pandangan Para Imamm Mazhab Atas Hal Ini
1. Pendapat Kalangan Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk sahnya shalat jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa yang bisa dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting jumlahnya tiga orang selain imam / khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa disebut jama’ adalah tiga orang.
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu’ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40 orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama’.
2. Pendapat kalangan Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang berkhutbah sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
 وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri . Katakanlah: `Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan`, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu’ah : 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih tetap berada dalam shaf shalat Jum’at itu itu dianggap sebagai syarat minimal jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak menggantinya menjadi shalat zhuhur.
3. Pendapat kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ جَابِرٍ t قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا جُمُعَةً   رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR. Ad-Daruquthuny)[57].
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40 orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah shalat jumat hanya bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah mereka 40 orang.
Bahkan mereka menambhakan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat yang keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat itu. Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jumat, sehingga keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta shalat jumat.
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi jumlah minimal.
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh, sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
E. Bila Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku‘. Maka bila makmum itu masih sempat ruku‘ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku‘ di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا  مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah ra.“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi)[58].
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاةِ اَلْجُمُعَةِ وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاتُهُ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَاللَّفْظُ لَهُ, وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ, لَكِنْ قَوَّى أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)[59]
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya. □


Pertemuan 10

Shalat Dalam Perjalanan

Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang tersebar di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk menjama’ dan mengqashar shalat. Menjama’ adalah melakukan dua shalat dalam satu waktu. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan di waktu Zhuhur atau di waktu Ashar. Sedangkan mengqashar adalah mengurangi jumlah rakaat shalat ruba'iyah (yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat.
Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal gabung atau asal mengurangi begitu saja.
I. Shalat Jama'
Ada dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat pada waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja. yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak ada jama’ lainnya.
A. Hal-hal Yang Membolehkan Jama'
Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki atau naik kuda selama dua hari. Para ulama kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar. Dengan dalil :
إِنَّ مِنَ السُنَّةِ إِذَا كَانَ يَوْمُ مُطِير أَنْ يجَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ رواه الأثرم  
 Sesungguhnya merupakan sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR. Atsram)
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi
كَانَ النَّبِيَُ r جَمَعَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
B. Syarat Jama’ Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi, tidak sah bila dilakukan jama’ taqdim.
1. Niat Sejak Shalat Yang Pertama
Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan. Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
2. Tertib
Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka tidak sah hukumnya.
Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghirib. Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
3. Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu lama.
Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
4. Masih Berlangsungnya Safar Hingga Takbiratul Ihram Shalat Yang Kedua
Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul hram shalat Isya'.
Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke pelabuhan negeri kita.
B. Syarat Jama’ Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya ada dua saja. Yaitu adalah :
1. Berniat Untuk Menmaja' Ta'khir Sebelum Habisnya Waktu Shalat Yang Pertama
Misalnya kita berniat untuk menjama’ shalat Maghrib dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
2. Safar Harus Masih Berlangsung Hingga Selesainya Shalat Yang Kedua.
Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar, maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru Maghrib?
Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat Isya', tapi boleh bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu masjid dimana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang singgah mengerjakan shalat  Maghrib dengan berjamaah.
II. Shalat Qashar
Allah SWT berfirman di dalam Al-quran al-Kariem tentang keringanan bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah bilangan rakaat shalat. Pengurangan bilangan rakaat ini disebut juga dengan istilah Qashr. Yaitu pada shalat fardhu yang jumlah rakaatnya empat dikurangi menjadi dua rakaat. Sedangkan yang jumlahnya tiga rakaat (shalat Maghrib) dan dua rakaat (shalat Shubuh) tidak ada pengurangan jumlah rakaat.
1. Dasar dari Al-Quran
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS. An-Nisa : 110)
2. Dasar dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak safar)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata:” Diwajibkan shalat 2 rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat safar seperti semula (2 rakaat)” (HR Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan :
“Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut”  
B. Kapankah Dibolehkan Menjama` / Qashar Shalat?
Sebenarnya untuk membolehkan seseorang menjama` shalatnya, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Tidak sembarang keadaan bisa membolehkan jama` shalat, sebab kewajiban shalat itu sudah memiliki waktu yang tetap dan pasti. Dan dimana pun seorang muslim mendapatkan waktu shalat, maka disitu dia bisa melakukan shalat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bentuk ibadah ahli kitab yang diwajibkan untuk ibadah HANYA didalam rumah ibadahnya yang khusus. Tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.
Buat umat Muhammad, bumi telah dijadikan suci, baik untuk tayammum atau pun untuk melakukan shalat. Kapan pun seorang muslim mendengar Adzan, pada prinsipnya dia bisa langsung mengerjakan shalat di tempat itu. Sebagaimana hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ r قَالَ وَجُعِلَتْ لِي اَلارْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلاةُ فَلْيُصَلِّ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Telah dijadikan bumi ini bagiku dan bagi umatku sebagai masjid dan suci. Dimana pun umatku mendapatkan waktu shalat, maka dia suci. (HR. Bukhari dan Muslim)
[1] Tidak ada air? Tayammum atau wudhu pakai air di botol minuman kemasan.
[2] Tidak ada masjid/mushalla? Boleh di atas tanah, rumput, trotoar, gang, gudang atau apapun.
[3] Baju kotor? Kotor itu bukan najis dan shalat tetap sah walau baju kotor belepotan lumpur, oli, debu atau cat.
[4] Tidak ada waktu? Shalat itukan cuma beberapa gerakan kecil yang paling panjang cuma 4 rakaat. Total waktu yang dibutuhkan per rakaatnya kurang lebih satu menit. Jadi shalat yang paling panjang itu hanya butuh maksimal 4 menit saja. Ini waktu yang lebih singkat dari menghabiskan sebatang rokok, atau waktu yang lebih cepat dari berjalan bolak balik ke toilet.
[5] Tidak mau? Nah inilah satu-satunya alasan untuk tidak shalat atau untuk melalaikan kewajibannya.
Dengan demikian, hampir-hampir tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk tidak shalat atau mengabung-gabung shalatnya, selama kondisi masih memungkinkan.
Diantara penyebab dibolehkannya jama` dan qashar adalah safar adalah :
1. Bepergian atau safar
Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama fiqih antara lain :
a.             Niat Safar
b.             Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.
c.             Keluar dari kota tempat tinggalnya
d.             Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
2. Sakit
Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama` shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan[60].
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
Begitu juga dengan ibnul munzir yang menguatkan pendapat dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Allah SWT berfirman :
 وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
 لَيْسَ عَلَى الاعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الاعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan” (QS. Annur : 61)
3. Haji
Para jamaah haji disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini :
 Dari Abi Ayyub al-Anshari ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` Maghrib dan Isya` di Muzdalifah pada haji wada`. (HR. Bukhari 1674).  
4. Hujan
 Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Madinah tujuh atau delapan ; Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim)[61]
 Dari Nafi` maula Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi Syaibah)[62]
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
 Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim)[63]
5. Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya. Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah disebutkan diatas.
Allah SWT berfirman :
 “Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
 Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR. Muslim)[64].   
C. Jarak Dibolehkan Jama` / Qashar
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menjama` shalat dilihat dari segi batas minimal jarak perjalanan.
1. Pendapat Pertama :
Imam Malik ra, Imam Asy-Syafi`i ra, Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (4 farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 Farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km[65].
2. Pendapat Kedua :
Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3 hari.
3. Pendapat Ketiga :
Sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan.
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? “Anas menjawab:” Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari 4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni)[66]
 Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata:” Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam”. 
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun jarak 4 burd yaitu 16 farsakh”. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541 meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4 burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta pengikut ketiga imam tadi.
Kesimpulan :
Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama’ shalat, menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4 burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
C. Syarat Menjama` / Mengqashar
Untuk dapat mengerjakan jama` dan qashar, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yaitu :
1.      Niat Safar
2.      Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km )
3.      Keluar dari kota tempat tinggalnya
4.      Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
Dengan demikian, maka para ulama mensyaratkan bahwa shalat jama` dan qashar itu baru bisa dikerjakan bila telah melakukan perjalanan walau belum mencapai jarak itu. Sebagian lagi memberi batasan asal sudah keluar rumah.
D. Batasan Waktu Untuk Tetap Menjama` / Mengqashar
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha.
Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Ibnul Qoyyim berkata,
” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
 Disebutkan Ibnu Abbas :” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di sebagian safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR. Bukhari)  □


Shalat Sunnah Rawatib

(131)
A. Sunnah Rawatib Muakkadah dan Ghairu Muakkadah
Shalat sunnah rawatib yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah :
  1. Dua rakaat sebelum zhuhur
  2. Dua rakaat sesudah zhuhur
  3. Dua rakaat sesudah maghrib
  4. Dua rakaat setelah ‘Isya’
  5. Dua rakaat sebelum shubuh.
Adapun yang selain itu memang tidak menjadi kebiasaan beliau meski tetap ada dalil masyru’iyahnya. Derajat kesunnahannya sedikit di bawah yang 10 rakaat itu namun tetap berpahala dan menjadi dari ibadah tambahan yang bila dikerjakan akan memberikan nilai tambah tersendiri. Pada dasarnya semua sholat rawatib adalah dianjurkan hanya saja para ulama membaginya menjadi dua bagian; sholat sunnah Mu’akkadah dan sholat sunnah Ghair Mu’akkadah.
Yang termasuk sholat rawatib mu’akkadah adalah dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat atau empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah Maghrib, dua rakaat setelah Isya.
Dari Ummu Habibah Ramlah Ra ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan sholat karena Allah dalam setiap hari dua belas rakaat berupa tathowwu’ bukan sholat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangubn bagi orang tersebut istana di surga” (HR. Muslim No. 728)
Sedangkan yang dimaksud dengan sholat rawatib ghair mu’akkaddah dan sebagian ulama menyebutnya sebagai sholat sunnah muthlaqah adalah
a. Dua rakaat sebelum Ashar.
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)
b. Dua rakaat sebelum Maghrib
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra dari Nabi SAW bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda: Bagi siapa saja yang mau melaksankannya. Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai sunnah. (HR. Bukhori No. 1183)
Dan dalam riwayat Abu Daud : “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat”. Kemudian beliau bersabda: “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat bagi yang mau” Beliau takut prang-orang akan menjadikannya sholat sunnah. (HR. Abu Daud No. 1281)
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)
c. Dua rakaat sebelum Isya.
Dari Abdullah bin Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)
B. Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib
Ada sejumlah keterangan dari Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang keutamaan melaksanakan sholat sunah rawatib. Antara lain:
Dari Aisyah Ra dari Nabi SAW belaiu bersabda: “Dua rakaat fajar (qbliyah shubuh) adalah lebih baik dari dunia dan segala isinya” (HR. Muslim No. 725)
Dari Ummu Habibah Ramlah Ra ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang hamba muslim yang melaksanakan sholat karena Allah dalam setiap hari dua belas rakaat berupa tathowwu’ bukan sholat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangubn bagi orang tersebut istana di surga” (HR. Muslim No. 728)
Dari Ummu Habibah Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: “Barangsiapa yang melaksankan sholat sebelum dzuhur empat rakaat (qabliyah dzuhur) dan setelahnya empat rakaat (ba’diyyah dzuhur) Allah akan mengharamkan orang tersebut masuk neraka” (HR. Abu Daud/shohih sunan Abu Daud No. 1130, Tirmidzy/shohih sunan Tirmidzi No. 352, Nasai/shohih sunan An-Nasai No. 1708 dan Ibnu Majah/shohih sunan Ibnu Majah No. 951)
Demikianlah sebagian dalil dari hadis yang menjelaskan tentang fadhilah melaksanakan sholat rawatib, baik qabliyah maupun ba’diyyah.
C. Hukum Berpindah Tempat
Ada sejumlah riwayat yang menjelaskan bahwa berpindah tempat ketika akan melaksanakan sholat rawatib, baik qabliyah maupun ba’diyyah adalah disunahkan.
Bahkan lebih afdholnya lagi, sholat sunnah rawatib dilaksanakan di dalam rumah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari Zaid bin Tsabit Ra sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda:
“Sholatnya seseorang di rumahnya adalah lebih baik daripada sholatnya di masjidku ini keculai sholat fardhu” (HR. Abu Daud/Shaih sunan Abi Daud N0.22)
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam tidak boleh sholat di tempat dimana ia sholat sehingga ia berpindah tempat” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairoh Ra dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila kamu sholat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri ?” (HR. Ibnu Majah)
Hadits-hadits di atas menunjukan bahwa berpindah tempat ketika melaksanakan sholat adalah masyru’. Dan diantara alasan disyariatkanya hal tersebut adalah untuk memperbanyak tempat sujud atau ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Al-Baghowi. Karena tempat-tempat ibadah tersebut akan memberi kesaksian di hari akhir nanti sebagaimana firman Allah Swt:
”Pada hari itu bumi menceritakan khabarnya“ (QS. Al-Zalzalah : 4)
Penejelasan ini dapat anda rujuk pada kitab ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud 2/227-228.
Namun jika masjid atau musholanya sempit, bisa saja seseorang meminta jamaah yang lain untuk bergeser ke tempatnya dan melaksanakan sholat sunnah rawatib di tempatnya. Tetapi jika memang tidak memungkinkan juga untuk bertukar tempat, maka tidak mengapa untuk melaksanakan sholat rawatib di tempat yang sebelumnya digunakan untuk melaksanakan sholat fardhu.
* * *                                                                                                          

Shalat Tarawih

(132)
Jumlah Rakaat
Hadits tentang sholat tarawih 20 rakaat memang bukan sekedar dhaif jiddan tapi sampai pada derajat mungkar, matruk dan maudhu‘.
Teks hadis ini adalah dari Ibn Abbas, ia berkata:
“Nabi SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi, hadis-hadisnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu (palsu) atau minimal matruk (semi palsu).
Tetapi yang jumlahnya delapan pun tidak kurang derajatnya dari yang 20 rakaat.
“Rasulullah SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan Ja‘far bin Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar al-Hadis (Hadis-hadisnya munkar). Sedangkan menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin Jariyah adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta.
Jadi bila disandarkan pada kedua hadits di atas, keduanya bukan dalili yang kuat untuk rakaat 8 atau 20 dalam tarawih.
Namun, perlu diketahui, hal itu bukan berarti shalat delapan rakaat atau dua puluh rakaat itu tidak boleh. Sebab yang dibahas di sini adalah bahwa hadis shalat tarawih delapan rakaat dan hadis tarawih dua puluh rakaat itu kedua-duanya maudhu atau minimal matruk. Jadi shalat tarawih dengan delapan rakaat atau dua puluh rakaat, kedua-duanya boleh dilakukan karena tidak ada keterangan yang konkret tentang jumlah rakaat shalat tarawih Nabi.
Keterangan yang shahih, Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih (Qiyam al-Lail). Misalnya hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a dimana Nabi mengatakan, ‘‘Siapa yang shalat pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala Allah, maka allah akan mengampuni dosanya (yang kecil-kecil).‘‘
Dan khusus bagi yang menjalankan shalat tarawih dua puluh rakaat, ada dalil tambahan, yaitu ijma (konsensus) para sahabat Nabi SAW, di mana pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, Ubay bin Ka‘ab menjadi imam shalat tarawih dua puluh rakaat, dan tidak ada satu pun dari sahabat Nabi yang memprotes hal itu.
***
Apakah shalat Tarawih Sama Dengan Tahajjud ?
Shalat tarawih dikenal sebagai shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan. Dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun pada malam berikutnya, jumlah mereka menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi pada malam berikutnya.
Sehingga kemudian Rasulullah SAW memutuskan untuk tidak melakukannya di masjid bersama para shahabat. Alasan yang dikemukakan saat itu adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena itu kemudian mereka shalat sendiri-sendiri.
Hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut serayas mengomentari,”Ini adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yatiu sesuai yang tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Adapun tahajjud atau qiamullail, adalah shalat yang biasa dilakukan Rasulullah SAW baik di malam Ramadhan atau diluar Ramadhan. Dan shalat itu bukan shalat Tarawih itu sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa pada malam Ramadhan, Rasulullah SAW shalat tarawih di awal malam ba‘da isya‘ lalu tidur dan pada akhir malam beliau melakukan shalat tahajjud/lail hingga sahur.
Nampaknya hal itu pula yang hingga kini dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia.
***
Yang Dibaca Saat Tarawih
Doa atau wirid yang dibaca diantara sela atau jeda di dalam rakaat-rakaat shalat tarawih sebenarnya tidak memiliki dasar masyru`iyah dari Rasulullah SAW. Baik wirid itu dalam bentuk doa atau zikir atau syair-syair yang biasa dilantunkan oleh para jamaah, kesemuanya tidak ada kaitannya dengan apa yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW maupun para shahabat.
Sehingga bila anda mendapati di setiap shalat tarawih ada perbedan bacaan, karena memang tidak ada dasarnya, sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih berimprofisasi sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari tempat lain yang tidak mereka sendiri tidak tahu dasar masyru`iyahnya. Apalagi maknanya sehingga semua itu berlangsung begitu saja tanpa kejelasan hukumnya.
Disinilah sesungguhnya kita umat Islam dituntut untuk belajar secara serius tentang praktek ibadah kita langsung dari sumber yang muktamad dan kepada para ulama yang faqih di bidangnya.
***
Shalat Tarawih Sendirian di Rumah
Sholat tarawih disunahkan untuk dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW . Adapun persolaan kenapa Rasulullah SAW selanjutnya tidak melaksankan sholat tersebut secara berjama’ah bersama para sahabat ?, Berdasarkan sejumlah hadis, hal tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran Rasulullah SAW bahwa sholat tarawih tersebut akan difardukan kepada kaum muslimin.
 
Dari Aisyah Ra sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan sholat kemudian orang-orang sholat dengan sholatnya tersebut, kemudian beliau sholat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah SAW tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah SAW berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (sholat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau khawati bahwa sholat tersebut akan difardukan” Rawi hadis berkata: Hal tersebut terjadi di bulan Ramadhan” (HR. Bukhori 923 dan Muslim 761)
Dan sekarang kekhawatiran tersebut telah hilang dengan wafatnya Rasulullah SAW setelah Allah SWT menyempurnakan syariat-Nya. Dengan demikian, hilang pula Al-Ma’lul yaitu meninggalkan jama’ah dalam Qiyam Ramadhan dan hukum yang terdahulu berlaku lagi yakni disyariatkanya sholat tersebut berjama’ah sebagaimana yang dihidupkan kembali oleh Umar Ra.
Permasalahan selanjutnya apakah tarawih secara berjama’ah adalah bid’ah? Sebelum kita membahas masalah tersebut, kita perjelas makna bid’ah terlebih dahulu. Sheikh Ali Mahfudz di dalam kitabnya Al Ibda` fi Madharil Ibtida` berkata bahwa bid`ah bisa ditinjau dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa ia bermakna: `Segala sesuatu yang diciptakan dengan tidak didahului contoh-contoh`Sedangkan menurut istilah adalah sebagai berikut:`Bid`ah ialah suatu ibarat yang berkaitan dengan masalah-masalah agama. Dilakukannya menyerupai syariat dengan cara yang berlebihan dalam mengabdikan kepada Allah swt.`
Dari definisi di atas, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa sholat tarawih berjama’ah setelah isya adalah bid’ah karena beberapa alasan:
Pertama: Sholat tarawih adalah termasuk sholat sunah malam dan pelaksanaannya boleh dilaksanakan setelah pelaksanaan sholat isya sampai terbit fajar atau sholat shubuh. Meskipun memang waktu yang paling utama adalah sepertiga malam terakhir.
Zaid bin Wahab berkata: “Abdulloh pernah melaksankan sholat Qiyam ramadhan bersama kami dan pulang di waktu malam (Ini menunjukkan pelaksanaannya di permulaan malam)” (HR. Abdurrazaq No 7741 dan sanadnya Shahih)
Kedua: Sebagaimana kami kemukakan di atas, sholat tarawih disunahkan dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dihidupkan kembali oleh Umar ra.
Kemudian jika ada yang bertanya lebih afdhol mana sholat tarawih sendiri di sepertiga malam terakhir dengan sholat tarawih berjama’ah ba’da isya? Husen Al-Uwaesyah mengutip perkataan Al-Bani berpendapat:
“Jika permasalah berkisar anta sholat di permulaan malam secara berjama’ah dan sholat diakhir malam sendirian maka sholat secara berjama’ah adalah lebih utama karena ia kan dihitung melaksankan sholat sepanjang malam” (Al-Mausu’ah Al-Fiqh Al-Muyassaroh II/149).                           

Shalat Tahajjud

(133)

Shalat Tahajjud

Sholat sunnah yang dilaksanakan di waktu malam hari, memiliki sejumlah nama. Ia bisa disebut qiyamul lail sesuai dengan pelaksanaan waktunya malam hari, sholat tahajjud kalau dilaksanakan setelah tidur dahulu, karena kata tahajjud dalam bahasa Arab berarti bergadang, atau sholat witir karena jumlah rakaatnya ganjil.
Jadi kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa sholat tahajjud boleh dilaksanakan sebelum tidur, pendapat tersebut adalah benar karena inti dari sholat tahajud dan qiyamul lail adalah sama. Hanya saja secara bahasa mungkin kurang tepat.
Meskipun sholat malam boleh dilaksanakan sebelum tidur –setelah pelaksanan sholat Isya-, akan tetapi waktu yang paling utama untuk melaksanakan sholat malam atau tahajjud ini adalah sepertiga malam terakhir atau menjelang fajar. Hal tersebut berdasrakan sejumlah hadit, antara lain;
Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Rabb kita akan turun setiap malam ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Dia pun berfirman: “Barang siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya”(HR. Bukhori 1145, Muslim 758)
 
Dari Abu Hurairoh RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Kalaulah tidak memberatkan umatku, aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap kali wudhu dan aku akan mengakhirkan sholat Isya sampai sepertiga malam atau setengahnya. Dan apabila telah berlalu sepertiga malam atu setengahnya. Alloh SWT turun ke langit dunia, Dia pun berfirman: “Barang siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang bertaubat sehingga pasti Aku menerima taubatnya” (HR Ahmad)
 
Dari Abdullah bin Amr ian berkata: Rasulullah SAW berkata padaku: “Shaum yang paling dicintai oleh Alloh adalah shaum Daud, beliau shaum satu hari dan berbuka tiga hari. Dan sholat yang paling disenangi oleh Allah adalah sholat Daud, beliau tidur sepertengah malam dan sholat sepertiganya dan tidur seperenamnya”(HR Bukhori 3420 Muslim 1159)
 
Dari Al-Aswad ia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah RA; “bagaimana sholat Nabi SAW di waktu malam?” Aisyah berkata: “Beliau biasa tidur di awal malam dan bangun di akhir malam kemudian beliau sholat, kemudian beliau kembali ke tempat tidurnya. Apabila adzan telah berkumandang beliau bangkit. Jika beliau junub, beliau mandi jika tida beliau hanya berwudhu” (HR. Bukhori 1146)
 
***
A. Sholat tahajjud lebih diutamakan dilaksanakan pada pertengahan atau sepertiga malam terakhir, Hal tersebut berdasarkan sejumlah hadis antara lain :
Dari Abu Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Rabb kita Tabaaroka Wa Ta’aala turun setipa malam ke langit dunia kita spertiga malam terakhir sambil berfirman : “Siapa yang berdo’a padaku akau akan mengabulkannya, siapa yang meminta padaku aku akan memberikannya dan siapa yang meminta ampunan padaku aku akan mengampuninya” (HR. Bukhori : 1145 dan Muslim : 785)
 
Dari Abdulloh bin Amr RA, ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “Shaum yang paling dicintai Alloh adalah shaum Daud AS, ia shaum satu hari dan berbuka satu hari. Dan sholat yang paling dicintai oleh Alloh adalah sholat Daud AS, ia tidur setengah malam dan beribadah sepertiganya serta tidur lagi seperenamnya” (HR Bukhori : 3420 dan Muslim 1159)
 
B. Sholat Tahajud diperbolehkan dilaksanakan secara berjama’ah dan imam diperbolehkan untuk mengeraskan bacaannya sebagaimana dalam pelaksanaan sholat qiyam Ramadhan, Hanya saja para ulama mensyaratkan bahwa pelaksanaan sholat malam secara berjamah agar tidak dijadikan suatu kebiasaan dan tidak boleh di tempat yang terkenal dan hal tersebut dilakukan karena kebetulan saja.
Dari Abu Hurariroh Dan Abu Said Al-Khudri RA mereka berkata : Rasulullah SAW telah bersabda: “Apabila seorang laki-laki membangunkan istrinya di waktu malam, maka keduanya sholat atau sholat dua rakaaatberjam,ah, maka keduanya akan dicatat sebagai Adz-Dzakiriin wa Dzakiroot (laki-laki dan perempuan yang selalu mengingat Alloh SWT” (HR Abu Daud : 1288 dan Ibnu Majah 1098)
 
C. Sholat yang dilakukan oleh orang tersebut adalah sah. Hanya yang perlu anda ketahui adalah banyak sekali pemahaman yang salah mengenai masalah ini. Sebenarnya para ulama tidak membeda-bedakan antara Qiyamul Lail, tahajjud, dan sholat witir. Dinamakan sholat malam, karena memang pelakasannannya adalah malam hari. Disebut tahajjud karena pelaksanaannya dilakukan setelah bangun tidur (tahjjud dalam bahsa arab berarti bergadang) sedang dinamakan sholat witir karena memang jumlah rakaatnya ganjil.
***
Tahajjud Berjamaah
Kalau kita membolak-balik kitab-kitab fiqih dari setiap mazhab, maka kita mendapati bahwa ternyata para ulama memang berbeda pendapat tentang masalah shalat tahajuud berjamaah ini. Sebagian mereka memakruhkannya dan sebagian lagi membolehkannya.
Diantara pendapat yang memakruhkan shalat tahajjud dengan berjamaah adalah para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah dan Asy-Syafi`iyah. Mereka berpendapat bahwa ijtima` (berkumpulnya) manusia untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan untuk shalat tarawih di bulan Ramadhan. Di luar itu menurut mereka disunnahkan untuk melakukannya dengan secara sendiri sendiri.
Namun sebaliknya, para ulama dari kalangan Al-Hanabilah membolehkan untuk melakukan shalat tahajjud dengan cara berjamaah yang terdiri dari banyak orang. Meski demikian, mereka tetap membolehkan untuk melakukannya dengan sendiri-sendiri.
Hal itu karena Rasulullah SAW pernah melakukannya dengan berjamaah dan juga pernah melakukannya dengan sendiri.
Namun bila dihitug-hitung, memang benar bahwa frekuensi dimana Rasulullah SAW shalat tahajjud sendirian lebih banyak dibadingkan dengan berjamaah. Rasulullah SAW pernah melakukannya sekali dengan Huzaifah, sekali dengan Ibnu Abbas, dan sekali dengan Anas dan ibunya.
Sehingga Al-Malikiyah memberikan kesimpulan bahwa bila jamaah shalat tahajjud itu tidak terlalu banyak dan bukan di tempat yang masyhur, hukumnya boleh tanpa karahah. Sedangkan bila ada dalil yang yang membid’ahkan untuk menghidupkan malam dengan shalat tahajjud berjamaah, maka hukumnya tidak tidak dianjurkan. Seperti shalat tahajjud berjamaah pada malam nisfu sya’ban atau malam asyuro’.
Sedangkan untuk membid’ahkannya, para ulama tidak ada yang sampai melakukannya, kecuali hanya memakruhkan saja. Karena tuduhan bid’ah itu lumayan dahsyat sehingga biasanya para ulama tidak terlalu mudah untuk mengeluarkannya kecuali memang benar-benar sudah melampaui batas. Apalagi masih ada riwayat dimana Rasulullah SAW pernah berjamaah ketika melakukan shalat tahajjud.
Semoga kita semua terhindar dari fitnah lisan dan dari sikap terlalu mudah membid’ahkan orang lain sebelum mendapatkan ilmu dan keterangan yang yakin.                                        

Shalat `Iedul Fithri dan `Iedul Adha

(134)
I. Hukum Shalat 'Ied
Sholat sunnah Ied menurut jumhur ulama hukumnya adalah sunnah mu’akkadah. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW selalu melaksanakan sholat sunah tersebut dan tidak pernah meninggalkannya. Bahkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW memerintahkan agar semua wanita baik itu yang haidh, yang dipingit, dan budak belian agar berangkat ke tempat pelaksanaan sholat Ied. Semua itu menujukkan bahwa hukum shoat Ied adalah sunnah mu’akkadah.
وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْعَوَاتِقَ ، وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ : يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu ‘Athiyyah Ra ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk mengeluarkan pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adhaa: Wanita-wanita yang dipingit, Wanita-wanita dan Hamba sahaya. Adapaun wanita-wanita yang sedang haidh hendaklah mereka menjaughi tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya memberikan pakaian kepadanya” (HR. Bukhori 324 dan Muslim 890)
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas Ra ia berkata: “Aku pernah menyaksikan sholat Ied bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra. Dan mereka semuanya melaksanakan sholat sebelum khutbah” (HR. Bukhari No. 989 dan Muslim 884)
Dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata: “Paman-pamanku dari kalangan Anshor yang termasuk sahabat Rasulullah SAW pernah menceritakan padaku: Mereka berkata : “Hilal bulan Syawal pernah tertutupi sehingga kami tidak bisa melihatnya, kemudian besoknya kami melaksanakan shaum, kemudian menjelang sore datang sekelompok kafilah dan bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi untuk melaksankan sholat Ied esok harinya” (HR. Abu Daud/ Shohih Sunan Abi Daud No. 1026 dan Ibnu Majah/Shohih Sunan Ibnu Majah No. 634)
***
II. Waktu Pelaksanaan Sholat
Sholat Iedul fitri dilaksanakan pada saat matahari telah meninggi seukuran dua tumbak sedangkan pelaksanaan sholat iedul Adha dilakukan lebih awal, yaitu seukuran satu tombak.
Dari Abdullah bin Bisr Ra, bahwasanya ia pernah keluar bersama orang-orang untuk melaksanakan sholat iedul fithri dan iedul Adhaa, kemudian ia mengecam imam yang selalu terlambat dan berkata: “Sesunguhnya ketika kami bersama Nabi SAW maka pada saat ini kami telah selesai” dan hal tersebut terjadi ketika sholat sunat dhuha. (HR Abu Daud lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1005)
***
III. Shifat Sholat
a. Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat shalat ied 2 rakaat sebagaimana hadits berikut :
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Dari Ibni Abbas ra bahwa Nabi SAW melakukan shalat 'Ied 2 rakaat, beliau tidak melakukan shalat sebelumnya atau sesudahnya” (HR. As-Sab'ah)
b. Takbir 7 kali dan 5 kali
Dalam pelaksanaan sholat Ied disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Takbir ketika sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shohih Sunan Ibnu Majah 1056)
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ : قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْأُخْرَى وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَنَقَلَ التِّرْمِذِيُّ عَنْ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ
Dari Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu 'anhum berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Takbir di sholat Iedul Fithri tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran sesudah takbir pada keduanya” (HR Abu Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018)
Menurut Imam Malik ra dan Auza’i tidak disunnahkan untuk membaca zikir apapun di antara takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah ra dan Imam As-Syafi’i ra menyunnahkan untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan lafaz yang tidak ditentukan.
c. Tidak Disyariatkannya Sholat sunnah, baik sebelum atau sesudahnya.
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Ibnu Abbas Ra, berkata : “Sesungguhnya Nabi SAW keluar untuk melaksanakan sholat Ied, kemudian beliau melaksankan sholat dua rakaat (sholat Ied), beliau tidak melaksanakan sholat apapun baik sebelum atau sesudahnya dan Bilal Ra ada bersama beliau” (HR. Bukhari 989 dan Muslim 884)
d. Tidak Disyariatkan Adzan dan Iqomah Ketika Sholat Ied.
Dalam pelaksanaan sholat Ied, tidak disyariatkan dikumandangkannya adzan, iqomah maupun bentuk panggilan-panggilan yang lainnya.
وَعَنْهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ بِلَا أَذَانٍ ، وَلَا إقَامَةٍ } . أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi SAW melaksanakan sholat Ied tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR. Abu Daud dan berasal dari Bukhari)

Dari Jabir bin Samuroh Ra ia berkata: “Aku pernah melaksanakan sholat Ied bersama Rasulullah SAW bukan sekali atau dua kali, tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR Muslim 887)
e. Dilanjutkan dengan 2 khutbah
Khutbah Idul Fithri dan Idul Adha sebenarnya tidak berbeda dengan khutbah jumat. Kecuali memang ada beberapa hal yang berbeda hukumnya. Ada beberapa urusan yang diwajibkan dalam khutbah Jumat namun tidak diwajibkan dalam khutbah Ied.
وَعَنْهُ قَالَ : { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ - وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ - فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Bahwa Nabi SAW keluar pada hari 'Iedul Fithr dan 'Iedul Adha ke mushalla, beliau memulai pertama kali dengan shalat, kemudian beranjak dan berdiri menghadap orang-orang, sementara orang-orang masih dalam shaf masing-masing, beliau menasehati mereka dan memerintahkan mereka.
Para ulama Asy-Syafi`iyah menyebutkan bahwa dalam masalah keharusan duduk antara dua khutbah, bila pada khutbah Jumat diharuskan ada duduk antara dua khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan untuk duduk diantara dua khutbah, hanya disunnahkan.
Begitu juga bila dalam khutbah Jumat, disyaratkan kondisi imam yang suci dari hadats kecil (dalam keadaan berwudhu’), dalam khutbah Ied tidak disyaratkan. Begitu juga dengan berdiri, bila pada khutbah diwajibkan untuk berdiri saat menyampaikan khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan, hanya disunnahkan.
(Silahkan periksa pada kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Zuhaili hal 1405).
Dengan demikian, bila dalam kesempatan khutbah Idul Fitri maupun Idul Adh-ha, Anda mendapati ada khatib yang khutbah hanya sekali, hukumnya boleh karena hanya sunnah saja. Namun tentu saja lebih baik bila khutbah itu dilakukan secara lengkap dengan sunnahnya.
***
IV. Tempat Shalat `Ied
Para fuqoha telah sepakat bahwa semua tempat yang bersih dan bisa menampung jama’ah yang banyak jumlahnya bisa dipergunakan sebagai tempat untuk melaksankan sholat Ied. Baik itu di Masjid atau di tanah lapang. Namun demikian, mereka menyatakan pelaksanaan sholat tersebut di tanah lapang adalah lebih utama.
Dari Ummu ‘Athiyyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan supaya kami mengeluarkan di hari Iedul Fitri dan Iedul Adha, para gadis yang belum menikah, wanita-wanita haidh dan wanita-wanita dalam pingitan. Adapun wanita yang sedang haidh diperintahkan untuk menjauhi tempat sholat, supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan da’wah kaum muslimin”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya yang perempuan memakaikan jilbab untuknya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya saja fuqoha madzhab Syafi’i menyatakan bahwa keutamaan sholat 'Ied di tanah lapang berlaku jika memang masjid yang biasa digunakan untuk melakukan shalat terlalu sempit. Tetapi jika masjid tersebut adalah luas, maka melaksanakan shalat di masjid adalah lebih utama sebagaimana yang biasa dilakukan di Masjidil Haram. Karena masjid adalah lebih bersih dan lebih mulia. (Al-Mausu’ah Al-Fiqghiyyah 27/245)
Sedangkan kebiasan membaca tahlilan seusai melaksanakan sholat 'Ied, belum kami dapatkan dalil yang sharih dan tegas yang menyatakan pensyariatan hal tersebut. Oleh karena itu kami sarankan anda untuk tidak melakukannya sampai ada keterangan yang shohih dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkan hal tersebut.
Sedangkan yang disyariatkan setelah pelaksanaan sholat Iedain tersebut adalah mengucapakan tahni'ah Ied sebagaimana diriwayatakan dari Jubair bin Nufair Ra, ia berkata: “Para sahabat Nabi SAW apabila bertemu di hari raya (Ied) sebagian dari mereka berkata kepada yang lain: “Taqobbalallohu Minnaa Wa Minkum (Semoga Alloh menerima ibadah kita semua)” (HR Al-Muhamili)
***
Tertinggal / Masbuk Pada Shalat Ied
Salah satu yang membedakan shalat ‘Ied dengan shalat lainnya adalah adanya beberapa kali takbir di awal rakaat. Baik rakaat pertama atau pun rakaat kedua. Di dalam hadits Rasulullah SAW, memang ada disebutkan masalah ini :
Dari Katsir dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah SAW dalam shalat Iedain dalam rakaat pertama melakukan takbir 7 kali sebelum qiraah dan dalam rakaat kedua bertakbir 5 kali sebelum qiraah.(HR. Turmuzi, Abu Daud, Ibnu Majah)
 
Juga ada keterangan yang menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan pada saat takbir-tabkir itu dilakukan. Dalilnya adalah :
Dari Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangan pada setiap takbir dalam shalat ‘Ied.(HR. Baihaqi dalam hadits mursal dan munqathi’)
Sedangkan pada setiap jeda antara satu takbir dengan takbir lainnya, disunnahkan untuk membaca tasbih, tahmid dan tahlil seperti lafaz ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaha illallah). Lafaz ini juga dikenal dengan istilah ‘al-baqiyatush shalihat’. Sebuah istilah yang ada dalam ayat Al-Quran Al-Karim :
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi ‘al-baqiyatush shalihat’(amalan-amalan yang kekal lagi saleh) adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS. Al-Kahfi : 46)
Kasus Makmum Ketinggalan Takbir
Dalam mazhab Al-Malikiyah disebutkan bahwa bila seorang makmum ketinggalan dalam mengikuti imam dalam takbir shalat ‘Ied, maka selama imam masih bertakbir, hendaknya dia diam saja dan baru bertakbir saat imam sudah selesai membaca takbir atau sudah mulai membaca Al-fatihah.

Tetapi bila seorang makmum bergabung dengan shalat sebagai masbuk, dimana imam sudah selesai bertakbir dan sudah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran Al-Karim, maka dia boleh bertakbir sendiri setelah takbiratul ihram lalu mengikuti imam. Hal seperti juga dikerjakan bila dia tertinggal satu rakaat dan baru ikut shalat dengan imam pada rakaat kedua.
Khusus bagi makmum yang tertinggal dua rakaat, yaitu yang tidak sempat ikut rukuk bersama imam pada rakaat kedua, maka makmum itu harus mengqadha’ sendirian shalatnya itu dengan melakukan shalat dua rakaat setelah imam selesai salam. Juga dengan bertakbir 6 kali di rakaat pertama dan 5 di rakaat kedua. (Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa takbir pada rakaat pertama itu 6 kali selain takbirtaul ihram).
Dalam mazhab Asy-Syafi`iyah disebutkan bahwa orang yang masbuk di dalam shalat ‘Ied atau tertinggal sebagian shalat hendaknya bertakbir pada saaat setelah selesai mengqadha’ apa yang dia tertinggal.
Dalam mazhab Al-Hanabilah disebutkan bahwa makmum yang mendapati imam sudah selesai bertakbir atau sudah dalam bertakbir, maka dia tidak perlu bertakbir. Hal yang sama juga bila dia mendapati imam sudah rukuk. Hal itu karena tempat untuk takbir sudah terlewat. Dan makmum yang masbuk bertakbir bila makmum itu sudah menyelesaikan qadha’ atas apa yang tertinggal.
Semua itu merupakan kesimpulan dari para ahli ilmu dengan dalil hadits :
Apa yang bisa kamu dapati bersama imam maka shalatlah, sedangkan apa yang terlewat/tertinggal, maka qadha’lah(HR. )
***                                                                                                            

Shalat Dhuha`

(135)
A. Pensyariatan Shalat Dhuha`
Shalat dhuha� adalah salah satu shalat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan sebagai shalat tambahan. Hukumnya mustahabbah tapi tidak mencapai sunnah muakkadah.
Dasar pensyariatannya adalah hadits berikut ini :
Dari Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Beliau berwasiat kepadaku untuk mengerjakan 3 hal : puasa 3 hari tiap bulan, 2 rakaat shalat dhuha, dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Muttaqun `alaihi)
Namun sebagian kalangan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa membiasakan shalat dhuha` bukan termasuk hal yang dianjurkan. Alasannya ada beberapa hal, diantaranya adalah :
  • Karena Rasulullah SAW dahulu semasa hidupnya tidak melakukannya secara rutin. Sehingga tidak ada anjuran bagi kita untuk melakukannya secara rutin juga.
  • Bila amal sunnah dilakukan secara rutin akan menimbulkan kemiripan dengan shalat wajib. Sehingga hal ini akan menyalahi hukum dasarnya. 
  • Mereka juga mengungkapkan hadits dari Aisyah ra ummul mukminin.
Dari Aisyah ra berkata,"Aku belum pernah melihat Rasulullah SAW shalat dhuha`. (HR. Muttafaqun `alaihi)
Namun sebagian ulama lainnya seperti Abul KHattab mengatakan bahwa dianjurkan untuk merutinkan shalat dhuha` meski hukumnya hanya sunnah. Alasannya ada beberapa faktor, diantaranya adalah :
  • Karena Rasulullah SAW berwasiat kepada kita untuk melakukannya sebagaimana hadits Abu Hurairah ra di atas.
  • Selain itu mereka juga mengatakan bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah yang dilakukan secara rutin meski hanya sedikit. Sehingga meski Rasulullah SAW sendiri tidak melakukannya bukan berarti tidak dianjurkan untuk melakukannya secara rutin.
  • Mereka juga mengajukan sebuah hadits meskipun menjadi bahan kritik ahli hadits, yaitu :
Siapa yang memelihara untuk mengerjakan shalat dhuha`, maka dosa-dosanya akan diampuni meski seperti buih di laut.
At-Tirmizy mengomentari hadits ini dengan ungkapan : Aku tidak mengenal hadits ini kecuali hanya melalui An-Nahas bin Qahm.
***
B. Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat shalat dhuha tidak dibatasi jumlahnya, sedangkan paling sedikit adalah dua rakaat. Namun ada juga yang berpendapat bahwa bilangan rakaatnya delapan dan dua belas. Semua pendapat itu berdasarkan dalil yang berbeda-beda, diantaranya kami kutipkan dari Fiqih Sunnah Dr. Sayyid Sabiq bab Shalat Dhuha:
Dari Ummu Hani bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Abu Daud)
Dari Aisyah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 4 rakat dan menambahi sesuai dengan keinginannya. (HR Ahmad Muslim dan Ibnu Majah
Said bin Manshur mengeluarkan dari al-Hasan bahwa dia ditanya,Apakah para shahabat Nabi melakukan shalat dhuha?. Ya, mereka melakukannya ada yang mengerjakan 2 rakaat, ada yang 4 rakaat, ada yang shalat terus hingga tengah hari.
Dari Ibrahim an-Nakhai bahwa seseorang bertanya kepada Al-Aswan bin Yazid,Berapa rakaat saya shalat dhuha��. Dijawab,terserah berapa saja.
***
C. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha`
Sedangkan untuk shalat dhuha adalah waktu dhuha sesuai dengan namanya. Dan batasannya adalah mulai matahari sebatas tombak dan berakhir ketika tergelincirnya di cakrawala (tengah hari).
Dalilnya adalah hadits berikut
Dari Zaid bin Arqam ra. Berkata,Nabi SAW keluar ke penduduk Quba dan mereka sedang shalat dhuha. Beliau bersabda,Shalat awwabin (duha) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari).(HR Ahmad Muslim dan Tirmizy).                                                                                        

Shalat Istikharah

(136)
A. Pengertian dan Pensyariatan
Istikharah berasal dari kata Khiyar yang maknanya adalah pilihan. Istikharah artinya meminta dipilihkan atau meminta petunjuk atas beberapa alternatif pilihan.
 Jika salah seorang di antara kalian bermaksud melakukan suatu hal, hendaklah dia melaksanakan shalat dua rakaat selain fardhu, kemudian hendaklah ia berdo�a : �Allahumma Inni Astakhiruka bi 'ilmika wa astaqdiruka diqudratika wa as'alukan min fadhlikal 'azhiem, fainnaka taqdiru wa la aqdir, wa ta'lamu  wa la a'lam. Wa anta 'allamul ghuyub. Allahumma inkunta ta'lamu anna hadzal amra khairun li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarikhu li�.� (HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai)
Makna doa tersebut adalah :
Ya Allah, aku memohon dipilihkan dengan ilmu-Mu. Aku bermohon penilaian dengan kekuasaan-Mu. Dan meminta dengan keutamaan-Mu yang Agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib.
Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta resikoku, taqdirkanlah hal itu untukku, mudahkanlah untukku, serta berkahilah aku pada hal itu.
* * * 
B. Kapan Kita Dianjurkan Shalat Istikharah?
Disunnahkan untuk melakukan shalat Istikharah saat menghadapi dua pilihan atau lebih. Namun pilihan itu haruslah berada dalam hukum yang mubah. Tidak boleh beristikharah dengan pilihan yang sudah jelas dilarang atau diharamkan. Sebab sesuatu yang haram tidak boleh dijadikan pilihan. (Fiqhus Sunnah li As-Sayyid Sabiq jilid 1 halaman 178).
Demikian juga seharusnya seseorang belum punya kecenderungan pada salah satu pilihan tertentu. Kemungkinan atau kecenderungan untuk menjatuhkan pada salah satu pilihan haruslah sama imbang. Jangan sampai seseorag sudah cenderung pada salah satu pilihan, tapi masih melakukan istikharah juga. Kecuali bila seseorang memang sudah cenderung memilih suatu hal, namun untuk lebih meyakinkan lagi, bolehlah dia melakukan shalat  istikharah. Demikian disebutkan oleh As-Sayyid Sabiq.
Shalat istikharah bisa dilaksanakan baik ketika menghadapi persoalan yang berat maupun yang ringan. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdulloh ia berkata: Rasulullah SAW pernah mengajarkan kepada kami perihal meminta pilihan kepada Allah (istikharah) yang berkaitan dengan segala hal dan urusan, sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dari Al-Qur�an. Beliau bersabda: Jika salah seorang di antara kalian bermaksud melakukan suatu hal, hendaklah dia melaksanakan shalat dua rakaat selain fardhu, kemudian hendaklah ia berdo�a : �Allohumma Inni Astakhiruka�.� (HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai)
Oleh karena itu Imam An-Nawawi berkata dalam kitabnya, Al-Adzkar, bahwa shalat Istikharah disunnahkan dilaksanakan pada segala kondisi, sebagaimana dijelaskan oleh Nash hadis di atas. Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani (Fathul Bari 11/184)
Dalam hadis di atas Rasulullah SAW tidak menjelaskan kapan pelaksanaan shalat sunnah tersebut, yang dijelaskan hanyalah jumlah rakaatnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan shalat istikharah bisa kapan saja, pada saat kita akan melakukan suatu hal.
* * * 
 
C. Cara Shalat Istikharah
Shalat Istikharah sebenarnya tidak ada bedanya dengan shalat sunnah lainnya. Dikerjakan dengan dua rakaat dengan bacaan surat yang bebas ditentukan sendiri. Tidak ada ketentuan khusus untuk membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Quran. Kecuali niatnya memang untuk shalat Istikharah.
Kemudian setelah itu mulai berdoa dengan lafadz sebagai berikut :
اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسألك من فضلك العظيم فإنك تقدر ولا أقدر ، وتعلم ولا أعلم وأنت علام الغيوب. اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه.

وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شرلي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم ارضني به
Allahumma Inni Astakhiruka bi 'ilmika wa astaqdiruka diqudratika wa as'alukan min fadhlikal 'azhiem, fainnaka taqdiru wa la aqdir, wa ta'lamu  wa la a'lam. Wa anta 'allamul ghuyub. Allahumma inkunta ta'lamu anna hadzal amra khairun li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarikhu li.  
Wa inkunta ta'lamu anna hadzal amra syarran li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri, fashrifhu 'anni washrifni 'anhu, waqdu liyal khaira hatsu kaana tsummardhini bihi. 
Ya Allah, aku memohon dipilihkan dengan ilmu-Mu. Aku bermohon penilaian dengan kekuasaan-Mu. Dan meminta dengan keutamaan-Mu yang Agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib.
Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta resikoku, taqdirkanlah hal itu untukku, mudahkanlah untukku, serta berkahilah aku pada hal itu.
Ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta resikoku, jauhkanlah hal itu untukku, jauhkan aku dari hal itu. Jadikanlah untukku kebaikan di manapun kebaikan itu berada. Kemudian ridhai aku pada hal itu.
Kemudian dia menyebutkan hajatnya, yaitu pada kalimat hadzal amra.
* * *
D. Bentuk Jawaban  
Dalam hadis tidak dijelaskan bagaimana jawaban akan diberikan, meskipun Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan hendaklah orang tersebut memilih sesuai dengan pilihan hatinya (hatinya menjadi condong terhadap suatu pilihan setelah shalat). Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh sejumlah ulama karena hadis yang menjadi rujukan Imam Nawawi adalah hadis dhaif. Para ulama hanya menegaskan bahwa jangan memilih pilihan yang ada sebelumnya yang hanya berdasarkan kepada hawa nafsu (Fathul bari 11/187)
Jadi yang seharus dilakukan adalah, setelah kita melaksanakan shalat istikharah kita pilih mana yang terbaik (berazam) dan meyerahkan segala urusannya pada Allah. Karena kalau pilhan tersebut adalah pilihan yang terbaik, maka Allah akan memudahkannya bagi orang tersebut dan akan memberkahinya. Tetapi jika hal tersebut adalah sebaliknya maka Allah akan memalingkannya dan memudahkan orang tersebut kepada kebaikan dengan idzin-Nya. (Bughyatul Mutathowwi Fi Shalat At-Tathowwu hal 105)
Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan bahwa hasil dari shalat istikharah akan ada pada mimpi. Sejumlah ulama di antaranya Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pilihan akan diberikan kepada orang yang melaksanakan shalat tersebut dengan dibukakan hatinya untuk menerima atau melakukan suatu hal. Tetapi pendapat ini ditentang oleh sejumlah ulama diantaranya Al-Iz bin Abdis-Salam, Al-Iroqi dan Ibnu Hajar. Bahwasanya orang yang telah melaksanakan shalat istikharah hendaklah melaksanakan apa yang telah diazamkannya, baik hatinya menjadi terbuka maupun tidak tidak.
Ibnu Az-Zamlakani berkata: Apabila seseorang melaksanakan shalat istikharah dua rakaat karena sesuatu hal, maka hendaklah ia mengerjakan apa yang memungkinkan baginya, baik hatinya menjadi terbuka untuk melakukannya atau tidak, karena sesungguhnya kebaikan ada pada apa yang dia lakukan meskipun hatinya tidak menjadi terbuka beliau berpendapat karena dalam hadis Jabir tidak dijelaskan adanya hal tersebut (Thobaqot Asy-Syafiiyah/ Ibnu As-Subki 9/206). Sedangkan hadis Anas bin Malik yang dijadikan alasan oleh Imam Nawawi didhoifkan oleh sejumlah ulama (Fathul Bari 11/187)
* * * 
E. Batasan Jumlah Shalat Istikharah
 Kami tidak mendapatkan dalil shohih yang menjelaskan tentang batasan minimum maupun maksimum pelaksanaan shalat istikharah. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu sunni dari Anas RA ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: Wahai Anas, Apabila engkau berniat melaksanakan suatu urusan, maka minta pilihan pada tuhanmu mengenai urusan tersebut tujuh kali, kemudian perhatikan mana urusan yang pertama dipilih oleh hatimu, karena kebikan ada padanya
Hadis di atas dihoif sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar : Sanadnya dhoif sekali (Fathul Bari 11/187). Al-Iroqi berkata :Mereka (para rowi) memang terkenal tetapi di antara mereka ada rowi yang terkenal dengan kedhoifannya (bahkan sangat dhoif) yaitu Ibrohim bin Al-Baro ( Kitab Al-Adzkar An-Nawawi dan Tuhfatul Abror As-Suyuthi hal 162-163).
* * *                                                                                                                         

Shalat Gerhana

(137)
 Gerhana Matahari
Shalat gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf dan juga kusuf sekaligus. Secara bahasa, kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.

Namun masyhur juga di kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana matahari. (Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 2 halaman 1421).

  • Kusuf adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.
  • Khusuf adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.

Gerhana Bulan
A. Pensyariatan Shalat Gerhana
Shalat gerhana adalah shalat sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah menyepakatinya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)
Maksud dari perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.
Selain itu juga Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.(HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)

Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat. Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.

* * *
B. Pelaksanaan Shalat Gerhana
1. Shalat gerhana matahari dan bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah dilandasi oleh hadits Aisyah ra.
2. Shalat gerhana dilakukan tanpa didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengutus orang yang memanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Muttafaqun alaihi).
3. Namun shalat ini boleh juga dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).
4. Juga disunnahkan untuk mandi sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk dikerjakan dengan berjamaah
5. Shalat ini juga dilakukan dengan khutbah menurut pendapat As-Syafi`i. Khutbahnya seperti layaknya khutbah Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.
Dalilnya adalah hadits Aisyah ra berikut ini :
Dari Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian bersabda,"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.(HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)
Dalam khutbah itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk bertaubatdari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa`zh) kepada para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di mimbar. Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan nabi SAW setelah shalat dianggap oleh mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.
* * *
C. Tata Cara Teknis Shalat Gerhana
1. Shalat gerhana dilakukan sebanyak 2 rakaat.
2. Masing-masing rakaat dilakukan dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku` dan 2 sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :
Dari Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa nabi SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi melakukan 2 ruku` dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2 ruku` untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. . Aisyah ra berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku` yang lebih panjang dari ini.(HR. Muttafaqun alaihi)
3. Lebih utama bila pada rakaat pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti Al-Baqarah dalam panjangnya. Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat pertamadibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran. Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.
4. Disunnahkan untuk memanjangkan ruku` dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 rukuk dan sujud rakaat pertama maupun pada 2 ruku` dan sujud pada rakaat kedua. Yang dimaksud dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan 50 ayat surat Al-Baqarah.
Panjang rukuk dan sujud pertama pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku` dan sujud kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir sekadar 50 ayat.
Dalilnya adalah hadits shahih yang keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku` sangat panjang lalu berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang pertama. Lalu ruku` lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku` yang pertama. Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku` panjang namun sedikit lebih pendek dari sebelumnya....(Muttafaqun alaihi).                                                                       

Shalat Jenazah

(138)
Shalat Jenazah termasuk shalat yang unik, karena barangkali itulah satu-satunya shalat yang tidak perlu ruku dan sujud. Bahkan tidak ada istilah berapa rakaat. Karena intinya hanya berdiri, takbir sebanyak empat kali dengan diselingi bacaan dan doa tertentu lalu salam.
A. Hukum Shalat Jenazah
Para ulama telah sepakat berdasarkan nash-nash yang kuat bahwa shalat jenazah termasuk jenis shalat yang hukumnya fardhu kifayah. Dimana bila sudah ada satu orang yang mengerjakannya, gugurlah kewajiban orang lain.
B. Pensyariatan Shalat Jenazah
Ada banyak dalil  tentang pensyariatan shalat jenazah, salah satunya yang paling mashur adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalatilah jenazah saudara kalian". (HR. Bukhari dan Muslim)
C. Keutamaan Shalat Jenazah
Ada beberapa hadits yang mengungkapkan keutamaan shalat jenazah. Antara lain : 
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapa yang mengantar jenazah dan menshalatinya, maka dia akan mendapat balasan satu qirath. Siapa yang mengantarnya hingga selesai di kuburkan, maka dia mendapat 2 qirath. Yang paling kecil dari 1 qirath itu seperti gunung Uhur (HR. Jamaah)
Dalam kesehariannya nilai 1 Qirath setara dengan 1/16 dirham perak. 
Dari Khabbab ra berkata,"Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah Anda mendengar apa yang dikatakan Abu Hurairah?. Sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,"Siapa yang pergi bersama jenazah dari rumahnya, lalu menshalatinya, kemudian mengikutinya hingga dimakamkan, maka dia mendapat 2 qirath balasan. Setia satu qirath setara dengan gunung Uhud. Namun siapa yang menshalati jenazah kemudian pulang, maka dia mendapat satu gunung Uhud saja". (HR. Muslim)
Kemudian Ibnu Umar mengutus Khabbab kepada Aisyah ra untuk menanyakan kepada beliau tentang kebenaran riwayat Abu Hurairah itu. Aisyah ra berkata,"Abu Hurairah benar". Maka berkatalah Ibnu Umar  ra,"Sungguh kita telah kehilangan banyak qirath". 
 
D. Rukun Shalat Jenazah
Shalat jenazah itu terdiri dari 8 rukun. Rukun ini maksudnya adalah kerangka yang bila ditinggalkan, shalat itu menjadi tidak syah.

  1. Niat
    Shalat jenazah sebagaimana shalat dan ibadah lainnya tidak dianggap syah kalau tidak diniatkan.
    Dan niatnya adalah untuk melakukan ibadah keapada Allah SWT.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS. Al-Bayyinah : 5).
Rasulullah SAW pun telah bersabda dalam haditsnya yang masyhur :
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,�Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya. Setiap orang mendapatkan sesuai niatnya(HR. Muttafaq Alaihi).
Niat itu adanya di dalam hati dan intinya adalah tekad serta menyengaja di dalam hati bahwa kita akan melakukan shalat tertentu saat ini.
  1. Berdiri Bila Mampu
    Shalat jenazah tidak syah bila dilakukan sambil duduk atau di atas kendaraan (hewan tunggangan) selama seseorang mampu untuk berdiri dan tidak ada uzurnya.
  2. Takbir 4 kali
    Aturan ini didapat dari hadits Jabir yang menceritakan bagaimana bentuk shalat Nabi ketika menyolatkan jenazah.
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW menyolatkan jenazah Raja Najasyi (shalat ghaib) dan beliau takbir 4 kali�. (HR. Bukhari : 1245, Muslim 952 dan Ahmad 3:355)
Najasyi dikabarkan masuk Islam setelah sebelumnya seorang pemeluk nasrani yang taat. Namun begitu mendengar berita kerasulan Muhammad SAW, beliau akhirnya menyatakn diri masuk Islam.
  1. Membaca Surat Al-Fatihah
  2. Membaca Shalawat kepada Rasulullah SAW
  3. Doa Untuk Jenazah
    Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Bila kalian menyalati jenazah, maka murnikanlah doa untuknya. (HR. Abu Daud : 3199 dan Ibnu Majah : 1947).
Diantara lafaznya yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW antara lain :
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa �aafihi wa�fu �anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi� madkhalahu, waghsilhu bil-ma�i watstsalji wal-baradi.
  1. Doa Setelah Takbir Keempat
    Misalnya doa yang berbunyi :
Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa taftinnaa ba�dahu waghfirlana wa lahu
  1. Salam
Jadi secara urutannya adalah sebagai berikut :
  • Takbiratul Ihram [pertama]
  • Membaca surat Al-Fatihah
  • Takbir ke-2
  • Membaca Shalawat kepada Nabi SAW : Allahumma Shalli �Alaa Muhamad
  • Takbir ke-3
  • Membaca Doa : Allahummaghfir lahu war-hamhu . . .
  • Takbir ke-4
  • Membaca Doa : Allahumma Laa Tahrimnaa Ajrahu
Mengucap Salam                                                                                        

Shalat Tasbih

(139)
Shalat ini sering kali dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Bagaimana sesungguhnya kedudukan shalat ini? Seberapa kuatkah landasan syar'i yang melatar-belakanginya?
Kajian kita kali ini akan membahas masalah ini, karena sering menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat.
A. Landasan Syariah
Para fuqoha berbeda pendapat tentang hukum sholat tasbih. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam hal kedudukan hadis yang menjadi pensyariatan ibdah sholat tersebut.
1. Pertama: Sholat tashbih adalah mustahabbah (sunnah).
Pendapat ini dikemukakan oleh sebahagian fuqoha Syafi’iyyah. Pendapat mereka dilandasi oleh sabda Rasulullah SAW kepada paman beliau Abbas bin Abdul Mutholib yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
Dari Ikrimah bin Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Al-Abbas bin Abdul Muttalib,“Wahai Abbas pamanku, Aku ingin memberikan padamu, aku benar-benar mencintaimu, aku ingin engkau melakukan -sepuluh sifat- jika engkau melakukannya Alloh akan mengampuni dosamu, baik yang pertama dan terakhir, yang terdahulu dan yang baru, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh sifat adalah: Engkau melaksankan sholat empat rakaat; engkau baca dalam setiap rakaat Al-Fatihah dan surat, apabila engkau selesai membacanya di rakaat pertama dan engkau masih berdiri, mka ucapkanlah: Subhanalloh Walhamdulillah Walaa Ilaaha Ilalloh Wallohu Akbar 15 kali, Kemudian ruku’lah dan bacalah do’a tersebut 10 kali ketika sedang ruku, kemudian sujudlah dan bacalah do’a tersebut 10 kali ketika sujud, kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali kemudian sujudlah dan bacalah 10 kali kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali. Itulah 75 kali dalam setiap rakaat, dan lakukanlah hal tersebut pada empat rakaat. Jika engkau sanggup untuk melakukannya satu kali dalam setiap hari, maka lakukanlah, jika tidak, maka lakukanlah saru kali seminggu, jika tidak maka lakukanlah sebulan sekali, jika tidak maka lakukanlah sekali dalam setahun dan jika tidak maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu” (HR Abu Daud 2/67-68, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaemah, dalam Shahihnya dan At-Thabarani.)
Mereka berpendapat bahwa hadits tersebut meskipun merupakan riwayat dari Abdul Aziz, ada sejumlah ulama yang mentsiqohkannya di antaranya adalah Ibnu Ma’in. An-Nasaiy berkata: Ia tidak apa-apa. Az-Zarkasyi berpendapat: “Hadis shohih dan bukan dhoif”. Ibnu As-Sholah: “Hadisnya adalah Hasan”.
Al-Hafizh menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan lewat jalur yang banyak dan dari sekumpulan jamaah dari kalangan shahabat. Salah satunya hadits Ikrimah ini. Dan sejumlah ahli hadits telah menshahihkan hadits ini, diantaranya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Ajiri, Abu Muhammad Abdurrahim Al-Mashri, Al-Hafizh Abul Hasan Al-Maqdisi rahimahullah. Ibnul Mubarak berkata,"Shalat tasbih ini muraghghab (dianjurkan) untuk dikerjakan, mustahab diulang-ulang setiap waktu dan tidak dilupakan". Lihat Fiqhus Sunnah oleh As-Sayyid Sabiq jilid 1 halaman 179.
2. Kedua: Sholat tasbih tidak apa-apa untuk dilaksanakan (boleh tapi tidak disunnahkan).
Pendapat ini dikemukakan oleh sebahagian fuqoha Hanbilah. Mereka berkata: “Tidak ada hadits yang tsabit (kuat) dan sholat tersebut termasuk Fadhoilul A’maal, maka cukup berlandaskan hadis dhoif.
Oleh karena itu Ibnu Qudamah berkata: “Jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa, karena sholat nawafil dan Fadhoilul A’maal tidak disyaratkan harus dengan berlandaskan hadis shohih” (Al-Mughny 2/123)
3. Ketiga: Sholat tersebut tidak disyariatkan.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ berkata: “Perlu diteliti kembali tentang kesunahan pelaksanaan sholat tasbih karena hadisnya dhoif, dan adanya perubahan susunan sholat dalam sholat tasbih yang berbeda dengan sholat biasa. Dan hal tersebut hendaklah tidak dilakukan kalau tidak ada hadis yang menjelaskannya. Dan hadis yang menjelaskan sholat tasbih tidak kuat”. Ibnu Qudamah menukil riwayat dari Imam Ahmad bahwa tidak ada hadis shohih yang menjelaskan hal tersebut.
Ibnuljauzi mengatakan bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat tasbih termasuk maudhu` / palsu. Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis bahwa yang benar adalah seluruh riwayat hadits adalah dhaif meskipun hadits Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, akan tetapi hadits itu syadz karena hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dan tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Dan juga shalat tasbih berbeda gerakannya dengan shalat-shalat yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafiyah dan Malikiyah tidak pernah disebutkan perihal shalat tasbih ini kecuali dalam Talkhis Al-Habir dari Ibnul Arabi bahwa beliau berpendapat tidak ada hadits shahih maupun hasan yang menjelaskan tentang shalat tasbih ini.                                                              

Shalat Istisqa`

(140)
A. Pengertian
Istisqa` secara bahasa berasal dari makna meminta air. Dan secara istilah syariat adalah ibadah shalat yang secara khusus dilakukan agar Allah SWT segera menurunkan air hujan. Biasanya shalat ini dilakukan bila terjadi kemarau berkepanjangan yang mengakibatkan keringnya sumber-sumber air, mati tanaman, hewan kehausan dan manusia kesusahan.
Demikian syariat Islam memberikan ajaran bagi umat manusia manakala menghadapi masalah kekeringan. Bukan dengan pergi ke pawang hujan atau orang sakti. Sebab hal-hal yang demikian malah bisa membuatnya kita terperosok pada syirik dan dosa besar. Sebab orang-orang yang mengaku bisa menurunkan hujan dengan ilmu ghaibnya, tidak lain mendapat bantuan dari syetan.
* * *
B. Pensyariatan Shalat Istisqa`
Shalat istisqa` adalah shalat yang disyariatkan dalam agama Islam. Dimana dahulu Rasulullah SAW pernah melakukannya sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits berikut ini.
Hadits pertama
Dari Aisyah ra berkata bahwa orang-oang datang mengadu kepada Rasulullah SAW atas tidak turunnya hujan (kemarau). Maka beliau memerintahkan orang-orang untuk menyiapkan mimbar pada tempat shalat (mushalla) dan berkumpul pada hari yang ditentukan. Beliau kemudian keluarrumah tatkala mahatari terik dan duduk di mimbar kemudian bertakbir dan memuji Allah lau bepidato,

"Kalian telah mengadukan keringnya rumah dan Allah telah memerintahkan untuk meminta kepada-Nya serta berjanji untuk memberikan apa yang diminta".
Beliau meneruskan,
"Alhamdu lillahi rabbil `alamin, Arrahmanurrahim, Maliki Yaumiddin, Laa Ilaha Illalah Yang Maha Mengerjakan apa yang diinginkan, Ya Allah, tidak ada tuhan kecuali Engkau, Engkau Maha Kaya dan kami orang yang faqir. Turunkan kepada kami air hujan. Jadikan apa yang Engkau turunkan itu sebagai kekuatan yang lama".
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga nampak putihnya ketiaknya. Kemudian beliau membelakangi orang-orang dan membalik selendangnya dengan masih mengangkat tangannya. Kemudian berbalik lagi menghadap orang-orang dan turun lalu shalat dua rakaat. Maka Allah menciptakan awan hujan lengkap dengan guruh dan kilatnya. Kemudian turunlah hujan atas izin Allah SWT. Beliau belum lagi sampai masjid ketika sudha terjadi banjir air hujan. Ketika belliau menyaksikan kecepatan air masuk ke rumah beliau tertawa hingga nampak putihnya giginya. Beliau berkata,"Aku bersaksa bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan bahwa aku adalah hamba dan rasul-Nya. (HR. Hakim 1/328 dan Abu Daud 1173. Abu Daud menshahihkannya dengan komentar bahwa hadits ini gharib tapi isnadnya jayyid)
Hadits Kedua
Hadits lainnya adalah hadits dari Abdullah bin Zaid Al-Mazani

Dari Abdullah bin Zaid Al-Mazani bahwa Nabi SAW keluar kepada orang-orang untuk meminta diturunkan air hujan. Maka beliau shalat bersama mereka dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya. (HR. Bukhari 1024, Muslim 1254, Abu Daud 1161, Tirmizy 557, Nasai 1521, Ibnu Majah 1267)
Hadits Ketiga
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW keluar pada suatu hari untuk meminta hujan. Beliau shalat bersama kami dua rakaat tanpa azan dan iqamat. Kemudian berkhutbah untuk kami, berdoa kepada Allah, memalingkan wajah ke kiblat dengan mengangkat kedua tangan. Lalu membalikkan selendangnya sehingga yang kanan di kiri dan yang kiri di kanan. (HR. Ahmad 4/41 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 3/347)
* * *
C. Tata Cara Shalat Istisqa`
Di dalam Fiqhus Sunnah pada jilid 1 halaman 182, As-Sayyid Sabiq menuliskan beberapa hal yang menjadi ketentuan dalam shalat Istisqa' antara lain :
  • Disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah, minimal ada imam dan makmumnya.
  • Jumlah bilangan rakaatnya hanya dua rakaat saja
  • Dikerjakan kapan saja asalkan bukan di dalam waktu-waktu yang terlarang untuk shalat.
  • Shalat ini dilakukan dengan mengerasakan bacaan oleh imam (jahr).
  • Disunnahkan untuk membaca surat Al-A`la (Sabbhisma rabbikal a`la) pada rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiah (Hal Attaka) pada rakaat kedua setelah membaca Al-Fatihah.
  • Disunnahkan untuk disampaikan khutbah baik sebelum atau sesudah shalat.
  • Disunnahkan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT setelah selesai shalat khususnya permintaan untuk segera diturunkan hujan, dengan mengangkat tangan.
  • Memindahkan rida' (selendang) dari bagian kanan tubuh ke bagian kiri atau sebaliknya.
* * *                                                                                                          
untuk melakukan perbuatan dari atasan kepada bawahan dan bersifat harus dikerjakan, seperti firman Allah, ("Dirikanlah shalat") kedudukan Allah ta'ala diatas kedudukan




[1] Di dalam kitab Nailul Authar karya Al-Imam Asy-Syaukani disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat. Hadits ini berbicara tentang Jibril yang shalat menjadi imam bagi nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
[2] As-Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 halaman 95
[3] Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 133
[4] Lihat kitab Al-Muhgny jilid 1 halaman 403, kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 267, kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 138
[5] Lihat kitab Nailul Authar jijlid 2 halaman 57, kitab Subulus Salam jilid 1 halaman 129, kitab Al-Mughny jilid 1 halaman 415-416
[6] Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1 halaman 720-721
[7] Al-Majmu, karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah jilid 3 halaman 344 s/d 350
[8] kitab Addur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 415, kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 193-205322, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 110 dan kitab Tabyinul Haqaiq jilid 1 halaman 104
[9] kitab Al-Majmu` jilid 3 halaman 302
[10] Rujuk ke kitab-kitab berikut ini : Fathul Qadir jilid 1 halaman 193-208, Ad-Dur al-Mukhtar jilid 1 halaman 416, As-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 313, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 62, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 163, Kassyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 452, Al-Muhazzab jilid 1 halaman 74).
[11] Nailul Authar : 2/253
[13] Hadits hasan shahih - Nailul Authar : 2/273) 
[14] Lihat Al-Qawanin Al-Fiqhiyah jilid 66, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 177, Hasyiyatul Bajuri jilid 1 halaman 163, Kasysyaf Al-Qanna’ jilid 1 halaman 454, Al-Mughni jilid 1 halaman 551-558, As-Syarhusshaghir jilid 1 halaman 315-321, Asysyarhulkabir jilid 1 halaman 240
[15] Menurut Al-Hakim hadits ini shahih dengan syarat dari Muslim. Hadits ini juga mutawatir yang diriwayatkan oleh 7 shahabat – lihat An-Nuzhum Al-Mutanatsir halaman 57
[16] Nailul Authar bab Al-Khuruj minashshalah bissalam, jilid 2 halaman 332
[17] Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 673
[18] Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 675
[19] Nailul Authar jilid 2 halaman 298
[20] dalam nashbur-Rayah
[21] Hadits ini shahih meski lewat sanad yang lemah, namun banyak syawahid yang menguatkannya.
[22] Hadits riwayat Muslim ini derajatnya shahih, namun oleh Al-Hafidz ibnu Hajar dikatakan sanadnya munqathi’ (terputus). Sedangkan riwayat Ad-Daruquthuni maushul dan dia mauquf.
[23] lihat kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halama 173 dan kitab Al-Mughni jilid 1 halaman 541
[24] lihat kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 478 dan kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 319
[25] kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 479, kitab Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1 halaman 162 dan kitab Syarhu Al-Hadhramiyah halaman 253
[26] lihat kitab Asna Al-Mathalib fi Ahaditsi Mukhtalaf Al-Marathib karya Al-Hut Al-Bairuti halaman 253
[27] lafaznya dari muslim diriwwayatkan dari hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, lihat Nailul Authar jilid 2 halaman 287
[28] lihat Subulus Salam jilid 1 halaman 194
[29] kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 650
[30] Fathul Bari jilid 2 halaman 133
[31] Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan
[32] (HR. Ibnu Majah 793, Ad-Daruquthuni 1/420, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/245 dan sanadnya shahih).
[33] Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
[34] Sunan Ibnu Majah 1/202, Sunan An-Nasai 3/112, Sunan Ibnu Khuzaemah 3/173, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/291  menshahihkan hadits ini hadits ini dari tiga jalannya.
[35] Shahih Muslim jilid 1 halaman 420
[36] kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160
[37] lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50
[38] Al-Muqni` 1/193
[39] Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224; Shahih Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
[40] Nailul Authar jilid 3 halaman 146
[41] kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76
[42] Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
[43] lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah halaman 83
[44] kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244
[45] Shahih Muslim 650, 249
[46] lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278
[47] Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333
[48] Al-Muhalla jilid 4 halaman 265
[49] Sunan Ibnu Majah 793, Sunan Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al-Hakim 1/245
[50] Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224 Shaih Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
[51] Imam An-Nawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang
[52] Salah satu kitab penjelasan Shahih Muslim. Penjelasan ini pada jilid III halaman 265
[53] Imam An-Nawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang
[54] Di dalam kitab Nailul Authar jilid 2 halaman 498-499. Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Imam Ahmad bin Hanbal mengomentari hadits ini bahwa isnadnya baik (jayyid)
[55] Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 288. As-Sayyid Sabiq sebenarnya mengutip dari kitab Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
[56] Al-Ikhtiyaarot Al-Fiqhiyyah Min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah/ Al-Ba’ly hal 145-146
[57] dengan isnad yang lemah
[58] Shahih Bukhari 580, Shahih Muslim no. 607
[59] Lafadz ini oleh Ad-Daruquthuni. Isnad hadits ini shahih, namun Abu Hatim menguatkan ke-irsalannya.
[60] dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 halaman 219
[61] Shahih Bukhari 543 dan Shahih Muslim 705 
[62] dengan sanad Shahih
[63] Shahih Muslim 705
[64] idem
[65] Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al-Hafid, jilid 1 halaman 404
[66] Hadits mauquf

0 komentar:

Posting Komentar

Site search

    Blogger news

    Blogroll

    About