A.
Pengantar
Agama "ditantang" untuk
bisa hidup secara eksistensial. Agama pun diharapkan memiliki
signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup
umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu masih dibenturkan
dengan adanya kehadiran modernitas yang terus- menerus berubah dan
menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan gesekan bagi
agama.
Dalam penampakan dunia yang sangat
kompleks ini, peran agama tidak bisa dipandang sebelah
mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang
tidak bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman
agama yang dinamis pula. Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih
hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak
belakang dengan modernitas.
Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW, terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia
itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan dalam arti yang
seluas-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif,
bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai kebersihan dan
mengutamakan persaudaraan.( Syafaq, 2011, hal. 103)
Agama
Islam lahir pada abad ke- 6 Masehi di semenanjung Arabia. Pada awal
kehadirannya, Islam mengalami hambatan kultural karena lahir di tengah
masyarakat pengembara (nomaden) dan tidak berperadaban. Namun dalam
perkembangan selanjutnya penyebaran agama Islam sangat menarik minat para ahli
sejarah. Dalam jangka waktu yang sangat singkat, sekitar 23 tahun, Islam telah
dianut oleh penduduk yang mendiami ½ wilayah dunia. Pada akhir abad ke-20 agama
besar ini menjadi agama yang dipeluk oleh lebih dari 1 milyar manusia yang
tersebar di seluruh dunia, terutama di Asia dan Afrika.
Islam yang diakui pemeluknya sebagai
agama terakhir dan penutup dirangkaikan petunjuk Tuhan untuk membimbing
kehidupan manusia, mengklaim dirinya sebagai agama yang paling sempurna.
Peradaban Islam dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas Islam dan
historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap zaman
akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang
disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam di
zaman modren ini sangat ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam merespon
secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modern ini.
Secara teologis, Islam merupakan
sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini
Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada
manusia dalam memahami realitas. Secara sosiologis, Islam merupakan fenomena
peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Dalam hal ini nilai-nilai Islam bertemu
dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam
partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan
partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar misi
Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan
(kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai
pedoman hidup. http://dunia.pelajar islam.or.id/dunia.pii/arsip/islam-dan-tantangan-modernitas.html (diakses pada
tanggal 26 November 2012)
Makalah ini
berangkat dari problem
yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut
bekerja ekstra keras mengembangkan segala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya dalam menghadapi dunia
yang serba modern saat ini, maka
selanjutnya penulis akan membahas permasalahan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan problem tersebut, dirangkum dalam tema
“Tantangan Modernitas dan Perkembangan Sosial Budaya dan Politik Umat
Islam”.
B. Kerangka Teoritis Kajian
Makalah ini berdasarkan pada
penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu usaha menyingkap, menggali dan
menelaah serta menganalisis persoalan yang menjadi objek kajian dari kacamata
sejarah. Disamping itu juga dipakai pedekatan sosiologis, terutama untuk
menganalisa tantangan modernitas dan perkembangan sosial budaya dan politik
umat Islam.
Adapun
sumber rujukan dalam penulisan makalah ini adalah Pengantar Studi Islam karya
Hammis Syafaq dkk, Oksidentalisme terjemahan Hassan Hanafi, Hegemoni Kisten Barat karya Adian Husaini, Islam dan Tantangan Dalam Menghadapi
Pemikiran Barat karya Mahmud
Hamdi Zaqzuq, Sejarah Peradaban Islam karya Badri Yatim, dan beberapa
buku referensi lainnya yang berkaitan dengan dominasi barat dan respon umat
Islam.
Sistematika pembahasan dalam
penulisan ini baik bahan, alat dan objek kajian akan mudah ditemukan setelah
diurutkan dan ditata sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. Sistematika
pembahasan merupakan rangkaian pembahasan yang termuat dan tercakup dalam isi
penulisan, antara satu bagian dengan bagian yang lain saling berkaitan sebagai
suatu kesatuan yang utuh. Agar penulisan dapat dilakukan dengan runtut dan terarah, maka
penulisan ini dibagi menjadi 4 bagian
yaitu:
Bagian pertama: pengantar yang berisi
tentang identifikasi permasalahan
pendekatan dan sistematika yang dipakai. Bagian kedua sumber rujukan yang dijadikan referensi.
Bagian ketiga
pemaparan materi yang menjelaskan tentang tantangan modernitas yang telah
membawa perubahan-perubahan besar dalam pola kehidupan umat Islam, baik dalam
bidang sosial budaya, politik dan kondisi ekonomi umat Islam, bentuk-bentuk
perkembangan yang dihadapi umat Islam baik secara positif maupun negatif.
Bagian keempat upaya umat Islam dalam menyikapi semua perkembangan itu. Bagian kelima merupakan kesimpulan
sebagai akhir dari penulisan makalah ini.
C. Pembahasan
- Tantangan Modernitas Terhadap Kehidupan Islam
Pengertian modernitas berasal dari
perkataan "modern"; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala
sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah
kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi
modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain
bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup
yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang
masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.
Kata-kata modern, modernism, dan moderenisasi berasal dari kata latin “modernus”yang artinya “baru saja; just now”, atau “terkini”. Akan tetapi, dalam pemaknaan yang
luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek
kawasan pemikiran dan aktifitas. (Madjid, 1985, hal.15)
Sedangkan pengertian Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaaman, yang berarti “patuh, tunduk, menyerah.
Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada apa yang telah
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya setiap masyarakat
menginginkan perubahan dari keadaan tertentu ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai
kehidupan yang lebih maju dan makmur. Keinginan akan adanya perubahan itu adalah awal
dari suatu proses modernisasi. Berikut ini adalah beberapa pengertian modernisasi dan beberapa pakar, Wilbert E
Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang
tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi social ke arah pola-pola
ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil. JW School, modernisasi adalah suatu transformasi,
suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Sebagaimana diungkapakan
oleh Nasution yang dikutip dari Azyumardi Azra (1985, hal. 11) bahwa Azyu lebih suka memakai
istilah modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan
istilah pembaruan. Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam
dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam
kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi
seperti pada kasus Turki.
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan
modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif.
Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya
membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka
yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek
ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau
subyektifnya, modernitas yang
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang dipegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan. Seperti Muhammad Abduh di Mesir, Hasan al-Banna di Mesir, Mawdudi di India dan Colonel Qadhafi di Libia.
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang dipegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan. Seperti Muhammad Abduh di Mesir, Hasan al-Banna di Mesir, Mawdudi di India dan Colonel Qadhafi di Libia.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar
reaksi muslim atas perubahan tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat
muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat
yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan
praktek- praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak Islami.
Berdasar pada dua pendapat diatas,
secara sederhana modernisasi dapat diartikan sebagai perubahann masyarakat
dari masyaraat tradisional ke masyarakat modern dalam seluruh aspeknya. Bentuk perubahan
dalam pengertian modernisasi adalah perubahan yang terarah yang didasarkan
pada suatu perencanaan yang biasa diistahkan dengan sosial planning. (http://id.shvoong.com/social-sciences/1997478-pengertian-modernisasi/#ixzz289h7cVMc ) diakses pada tanggal 01 Oktober 2012.
Nurcholis (1998, hal. 17) pernah
mengomentari Islam dan tantangan modernitas. Dalam pandangannya Alquran
menunjukkan bahwa risalah Islam, karena universalitasnya dapat diadaptasikan
dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan
modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan
modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne
yang menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu
dapat dilakukan serentak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi diupayakan
berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.
Modernitas untuk bangsa Indonesia menurut Suryohadiprojo adalah
pandangan oleh sikap hidup yang dikembangkan untuk menghadapi kehidupan masa
kini. Karena bangsa Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologi dan
falsafah kehidupannya, dan juga sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka modernitas untuk bangsa kita tidak lepas dari
Pancasila.
Hakikatnya Pancasila merupakan satu
pandangan yang modern. Memang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia,
semua mempunyai akar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu kala.
Namun belum pernah dalam sejarah
Indonesia ada kehidupan bangsa kita berbentuk negara yang dilandasi dan
dikembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Baru dalam Negara
Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai
dasar landasan Pancasila secara utuh. Itu berarti bahwa bangsa kita mempunyai
keyakinan akan dapat menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang
dengan sebaik-baiknya apabila menggunakan Pancasila sebagai landasannya. Itu berarti
bahwa Pancasila merupakan pandangan atau Weltanschauung yang modern.
Tetapi seperti telah dikatakan, tidak
ada bangsa di dunia yang dapat menghindari pengaruh dan dampak peradaban Barat
yang begitu dinamis dan agresif. Apabila kita yang merupakan bekas jajahan
salah satu bangsa Barat, tentu telah memperoleh dampak dan pengaruh dari budaya
Barat tersebut, baik yang positif maupun yang negatif. Oleh karena kita hendak
mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara kita, maka kita harus pandai dan
arif dalam menghadapi pengaruh dan dampak peradaban itu.
Selain itu Republik Indonesia tumbuh
dan berkembang dalam lingkungan yang penuh dengan peradaban Barat atau pun
pengaruhnya. Untuk dapat tumbuh dengan selamat dan subur, maka Pancasila harus
mempunyai kemampuan untuk hidup dalam lingkungan demikian tanpa kehilangan
dirinya di satu pihak, tetapi juga kuat menghadapi pihak lain.
Pancasila sebagai pandangan modern
tentu juga merupakan pandangan yang terbuka. Tetapi justru karena
keterbukaannya itu akan dapat mengembangkan vitalitas dan energi yang
berhubungan dengan dunia luar, khususnya dunia Barat. Tentu keterbukaan itu
tidak berarti bahwa jiwanya sendiri dikesampingkan atau dikorbankan. Sebab
justru keterbukaan yang bermaksud untuk memupuk vitalitas dan energi lebih
besar mempunyai tujuan untuk mengamankan jiwa sendiri. Dalam hubungan dengan
peradaban Barat itu dapat diambil unsur-unsur mana yang dapat memperkuat
kehidupan bangsa, dan sebaliknya diperhatikan unsur-unsur mana yang
dalam peradaban Barat harus ditinggalkan karena merugikan kita sendiri.
(http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Modernitas1 ) diakses pada tanggal 28 September 2012.
Penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa Modernisasi yang dimaksud adalah proses perombakan cara berfikir dan tata kerja lama yang tidak
rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang
rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal.
Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu
pengetahuan.
- Perubahan-Perubahan Besar Dalam Pola Kehidupan Umat Islam
Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara
bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. Dalam
merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu
masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat
dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin,
masyarakat industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan
yang sangat sempurna dan wahyu ilahi.
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin agama,
mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa
membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman
keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan
Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu
pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.
Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses
evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi
sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan
kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah,
naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan
dikumandangkannya strategi mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan
suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri
masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk
mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena tantangan
yang diterima dari kaum Quraisy dan penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk
menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu,
kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan
kebudayaan dengan sempurna. Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan
mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan
suatu masyarakat bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat
sejahtera, terpelajar, dinamis dan progresif dalam waktu yang begitu singkat.
Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali
Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus mampu memberikan anda
suatu pisau analisa untuk kemudian menyusun suatu strategi kebudayaan untuk
masa kini, untuk membangun kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang
ini. Suatu hipotesa patut diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa suatu
sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.(Supriyadi,
2003, hal 65-66)
Muara yang diharapkan dari proses
dialektika nilai-nilai Islam
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhasil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda dengan dunia Islam.
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhasil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda dengan dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk
menjawab tantangan tersebut. Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan
bahwa di antara tiga agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang
paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme
(ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, tidak ada
kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki
keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara luas (Islam
mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada
sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional
kehidupan social. (Nurcholis, 1985, hal. 467)
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan
Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam
itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama Rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan
terjaga otentitasnya), Insaniyah (sesuai
dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), Wasthiyyah (moderat-mengambil jalan tengah), Waqiiyah (kontekstual), jelas dan
harmoni antara perubahan dan ketetapan.(Nurcholis, 1994, hal. 5)
Bentuk-Bentuk Perkembangan Yang Dihadapi Umat Islam
Meski Islam potensial menghadapi
perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya.
Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi
yang ada. Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan
hal ini adalah Islam mahjub bi
al-muslimin.
Dalam mengaktualisasikan potensi
tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada
dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim yakni seruan kembali kepada
fundamen agama (al-Quran dan hadits), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan
respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan
zaman akibat modernitas.
Model pertama disebut purifikasi,
upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi
yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan
pembaruan Islam atau modernisme Islam.(Jainuri, 2002, hal. 38)
Tajdid memiliki peranan yang
signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya
pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika
sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu
dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil
alih oleh umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa
ulama` merupakan pewarisnya dan di lain kesempatan ia menyatakan akan
hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun.
Dalam proses tersebut, setiap ajaran
Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh
sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan.
Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari
aspek-
aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku
kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku
kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah
(interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya.
Pada aspek ini nilai- nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang)
kehidupan. Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus
diterjemahkan pemeluknya sesuai dengan konteks
ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua
dibolehkan kecuali yang dilarang”.
Menurut Kuntowijoyo (2007, hal. 170) penerjemahan
nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang
pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu Fiqh merupakan
salah satu perwujudan yang pertama.
Sementara yang kedua berangkat dari
nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat sosial dan teori sosial
terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh adalah
ayat yang menjelaskan Allah tidak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah
dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi
teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan social.
Keberadaan tajdid menjadi bukti penting
penghargaan Islam terhadaap kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam
proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi
sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan
aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah ketidakmampuan
agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan
kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad pertengahan.
Sebaliknya, jika aspek-aspek yang
tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan
kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam seperti
yang disebut oleh Qardhawi di atas bahwa Islam berdiri di tengah-tengah.
Islam mengandung ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan
di sisi lainnya. Dengan sikap terebut, Islam bisa tetap eksis di tengah perubahan
zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.
Gagasan pembaharuan Islam dapat
dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M).
Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek Islam populer yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh
Muhammad Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras
tradisi yang tidak Islami.(Jainuri,
2002, hal. 15-17)
Jika pembaharuan pra-modern dilakukan
sebagai otokritik praktek keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan
respons umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di
era ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha,
Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.
Proses pembaharuan era modern
mengalami dinamika yang cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan
modernitas melahirkan banyak pemikir dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada
modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti
sekularisme).
Fungsi Agama Terhadap Perkembangan Dan
Perubahan Budaya
Dalam konteks sosial, hubungan
fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang
rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut
sebagai suatu historical force yang
turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, dapat
dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya
disintegrasi dalam masyarakat.
Lebih dari itu, dengan kekuatan yang
dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi
kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa
frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan.
Sosiolog Peter L Berger yang dikutip dari Sutarto (2006, hal 67) mengemukakan
hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan
makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara
meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan
atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala
kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan
sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan
kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam setiap agama, tentu
diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para
pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai
transenden.
Keyakinan religius demikian, yang
oleh Berger dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan
bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku
dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif
bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan
juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko
(1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara
efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem
integrasi yang menyeluruh.
Agama mengandung otoritas dan
kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang
ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi
kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan
kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama
dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas
masyarakat yang pluralistik.
D. Upaya Umat Islam Dalam
Menyikapi Semua Perkembangan
Serbuan kaum
salib ke negeri-negeri Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api,
tetapi juga melalui peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat
dikuasainya. Bukan hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam,
bahkan mental dan nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem
pendidikan dan pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu
sosial, modal dan lain-lain. Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran
bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan
untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak
mereka, tetapi setan berada di hati mereka.
Dahulu kaum
muslimin menghayati peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan
lain-lain disamping pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi.
Dengan datangnya peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati
selama berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka.
Inti
peradaban Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih
mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material
daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah
menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan
siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat
Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan
Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka
berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban
untuk menciptakan balance of power. Yang pertama merasakan hal itu
diantaranya Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi
kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk
banyak belajar dari Eropa.
Penjajahan
Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor
yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai
penyebab kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu
pengetahuan dari Barat, sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para
pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa
untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan
karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga
banyak menuntut ilmu ke Inggris.
Pengaruh
Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada
intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap
negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai
pandangan yang berbeda-beda.
Pandangan
pertama berpegang pada sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha
melakukan asimilasi dengan ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih
tinggi dari semangat Barat. Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama,
menerjunkan dirinya dalam pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang
kekecewaan dan kengerian Barat.(Mansoor,
2007, hal. 26)
Memang benar
bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar dalam memajukan dunia Islam.
Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi
itu tidak berarti bahwa peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan.
Peradaban Barat telah menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya
peradaban Islam bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana
peradaban Barat adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.
Secara
historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam soal
ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan
umat Islam untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an juga selalu menyerukan manusia untuk
berpikir, menalar dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran
para filsuf atas beberapa noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan
ulama ortodoks, namun para filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan
keagamaan, untuk membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum
Muslim klasik telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia
Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya
dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa mengalami
pembaratan (Westernisasi).
Keadaan yang
penuh dengan sikap bebas dan terbuka itu jelas memerlukan kepercayaan diri yang
tinggi, sehingga ada dukungan psikologis untuk bertindak proaktif dan reaktif.
Kepercayaan diri yang diperlukan akan segera terwujud, mengingat realitas
kekinian menunjukkan semakin banyaknya kaum Muslim yang memasuki kehidupan
modern tanpa kehilangan loyalitas pada agama mereka. Oleh karena itu,
kemodernan adalah suatu keniscayaan bagi umat Islam, meski sekarang ini kadang
terjadi benturan antara Islam dan modernitas yang sering menghasilkan
sikap-sikap reaksioner dalam bentuk anti-modernitas dan sikap-sikap penegasan
diri (self-assertion) secara berlebihan.
Luka lama
dunia Muslim akibat penjajahan itu akan hilang, lenyap ditelan sang waktu.
Keyakinan itu didasarkan pada anggapan bahwa kemodernan adalah kelanjutan wajar
dan logis dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga kemodernan sendiri
adalah sesuatu yang tak bisa dihindari (inevitable).(Hanafi, 2002, hal. 84)
E. Kesimpulan
Modernitas
yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif- negatifnya, menjadi tantangan yang harus
dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk
menyelesaikan permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan
ajaran Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan
secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost yang besar.
Sejalan dengan
perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan
sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal.
Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan
aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi
salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara
keseluruhan. Fungsi sosial
agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde
sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi
positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat
dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
Sebenarnya
modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau masih
mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan
membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada
Islam. Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way
of life di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab
sekulraisme selalu berkaitan dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber
segala imoralitas.
Secara historis Islam sebenarnya
tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam soal ilmu pengetahuan, banyak
sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan umat Islam untuk menuntut
ilmu. Al-Qur’an juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir, menalar dan
sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas
beberapa noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun
para filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk
membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum Muslim klasik
telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis
tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya dapat
menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa mengalami
pembaratan (Westernisasi).
Inti
dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama
Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku
kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan
mendorong ummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang
dikecam dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah
esensi yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.
Daftar Pustaka
Al-Jamri, Mansoor, Islamisme, Pluralisme dan Civil Society,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme,
Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Jainuri, Ahmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan
Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, Surabaya: LPAM, 2002.
Madjid, Nurcholish, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang
dan Turki, sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah
Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1985.
, Islam
Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998)
Montgomery Watt, William, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Nasution, Harun, Pembaharuan
Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Supriyadi Eko, “Sosialisme Islam”, Penerbit Pustaka
Pelajar, 2003
Sutarto Ayu, Menguak pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia, Kelompok
Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda), 2006.
Syafaq, Hammis, dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2011.
0 komentar:
Posting Komentar