Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 11 Juni 2016




A.    Pengantar
Agama "ditantang" untuk bisa hidup secara eksistensial. Agama pun diharapkan memiliki signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu masih dibenturkan dengan adanya kehadiran modernitas yang terus- menerus berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia sehingga menimbulkan gesekan bagi agama.
Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama tidak bisa  dipandang sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang tidak bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman agama yang dinamis pula. Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan modernitas.
Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan dalam arti yang seluas-luasnya. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, mencintai kebersihan dan mengutamakan persaudaraan.( Syafaq, 2011, hal. 103)


Agama Islam lahir pada abad ke- 6 Masehi di semenanjung Arabia. Pada awal kehadirannya, Islam mengalami hambatan kultural karena lahir di tengah masyarakat pengembara (nomaden) dan tidak berperadaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyebaran agama Islam sangat menarik minat para ahli sejarah. Dalam jangka waktu yang sangat singkat, sekitar 23 tahun, Islam telah dianut oleh penduduk yang mendiami ½ wilayah dunia. Pada akhir abad ke-20 agama besar ini menjadi agama yang dipeluk oleh lebih dari 1 milyar manusia yang tersebar di seluruh dunia, terutama di Asia dan Afrika.
Islam yang diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dirangkaikan petunjuk Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia, mengklaim dirinya sebagai agama yang paling sempurna. Peradaban Islam dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas Islam dan historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap zaman akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam di zaman modren ini sangat ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam merespon secara tepat tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modern ini.
Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami realitas. Secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Dalam hal ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.




Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan.  Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup. http://dunia.pelajar islam.or.id/dunia.pii/arsip/islam-dan-tantangan-modernitas.html (diakses pada tanggal 26 November 2012)
Makalah ini berangkat dari problem yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan segala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya dalam menghadapi dunia yang serba modern saat ini, maka selanjutnya penulis akan membahas permasalahan tentang hal-hal yang berkaitan dengan problem tersebut, dirangkum dalam tema  “Tantangan Modernitas dan Perkembangan Sosial Budaya dan Politik Umat Islam”.


B.     Kerangka Teoritis Kajian
Makalah ini berdasarkan pada penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif dan analisis kritis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis, yaitu usaha menyingkap, menggali dan menelaah serta menganalisis persoalan yang menjadi objek kajian dari kacamata sejarah. Disamping itu juga dipakai pedekatan sosiologis, terutama untuk menganalisa tantangan modernitas dan perkembangan sosial budaya dan politik umat Islam.
Adapun sumber rujukan dalam penulisan makalah ini adalah Pengantar Studi Islam karya Hammis Syafaq dkk, Oksidentalisme terjemahan Hassan Hanafi, Hegemoni Kisten Barat karya Adian Husaini, Islam dan Tantangan Dalam Menghadapi Pemikiran Barat karya Mahmud Hamdi Zaqzuq, Sejarah Peradaban Islam karya Badri Yatim, dan beberapa buku referensi lainnya yang berkaitan dengan dominasi barat dan respon umat Islam.
Sistematika pembahasan dalam penulisan ini baik bahan, alat dan objek kajian akan mudah ditemukan setelah diurutkan dan ditata sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah. Sistematika pembahasan merupakan rangkaian pembahasan yang termuat dan tercakup dalam isi penulisan, antara satu bagian dengan bagian yang lain saling berkaitan sebagai suatu kesatuan yang utuh. Agar penulisan dapat dilakukan dengan runtut dan terarah, maka penulisan ini dibagi menjadi  4 bagian yaitu:
Bagian pertama: pengantar yang berisi tentang identifikasi permasalahan pendekatan dan sistematika yang dipakai. Bagian kedua  sumber rujukan yang dijadikan referensi. Bagian ketiga pemaparan materi yang menjelaskan tentang tantangan modernitas yang telah membawa perubahan-perubahan besar dalam pola kehidupan umat Islam, baik dalam bidang sosial budaya, politik dan kondisi ekonomi umat Islam, bentuk-bentuk perkembangan yang dihadapi umat Islam baik secara positif maupun negatif. Bagian keempat upaya umat Islam dalam menyikapi semua perkembangan itu. Bagian kelima merupakan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan makalah ini.


C.    Pembahasan
  1. Tantangan Modernitas Terhadap Kehidupan Islam
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern"; dan makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Jadi modernitas adalah pandangan yang dianut untuk menghadapi masa kini. Selain bersifat pandangan, modernitas juga merupakan sikap hidup. Yaitu sikap hidup yang dianut dalam menghadapi kehidupan masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.
Kata-kata modern,  modernism, dan  moderenisasi berasal dari kata latin “modernus”yang artinya “baru saja;  just now”, atau “terkini”.  Akan tetapi, dalam pemaknaan yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek kawasan pemikiran dan aktifitas. (Madjid, 1985, hal.15)
Sedangkan pengertian Islam berasal dari kata aslama-yuslimu-islaaman, yang berarti “patuh, tunduk, menyerah. Sedangkan Islam menurut istilah adalah tunduk dan patuh kepada apa yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya setiap masyarakat menginginkan perubahan dari keadaan tertentu ke arah yang lebih baik dengan harapan akan tercapai kehidupan yang lebih maju dan makmur. Keinginan akan adanya perubahan itu adalah awal dari suatu proses modernisasi. Berikut ini adalah beberapa pengertian modernisasi dan beberapa pakar, Wilbert E Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi social ke arah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara barat yang stabil. JW School,  modernisasi adalah suatu transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya.
Sebagaimana diungkapakan oleh Nasution yang dikutip dari  Azyumardi Azra (1985, hal. 11) bahwa Azyu lebih suka memakai istilah modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan. Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus Turki.
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang
diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di
segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang dipegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan. Seperti Muhammad Abduh di Mesir, Hasan al-Banna di Mesir, Mawdudi di India dan Colonel Qadhafi di Libia.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek- praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak Islami.
Berdasar pada dua pendapat diatas, secara sederhana modernisasi dapat diartikan sebagai perubahann masyarakat dari masyaraat tradisional ke masyarakat modern dalam seluruh aspeknya. Bentuk perubahan dalam pengertian modernisasi adalah perubahan yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasa diistahkan dengan sosial planning.  (http://id.shvoong.com/social-sciences/1997478-pengertian-modernisasi/#ixzz289h7cVMc ) diakses pada tanggal 01 Oktober 2012.
Nurcholis (1998, hal. 17) pernah mengomentari Islam dan tantangan modernitas. Dalam pandangannya Alquran menunjukkan bahwa risalah Islam, karena universalitasnya dapat diadaptasikan dengan lingkungan kultural manapun termasuk lingkungan masyarakat perkotaan modern, kemampuan Islam mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan kebudayaan modern diakui oleh sejumlah ilmuwan sosial. Salah satunya adalah Ernest Gellne yang menegaskan bahwa Islam dapat dimodernisasi, dan upaya modernisasi itu dapat dilakukan serentak dengan upaya pemurniannya. Modernisasi diupayakan berlangsung tanpa merusak keaslian dan otensitasnya sebagai agama wahyu.
Modernitas untuk bangsa Indonesia menurut Suryohadiprojo adalah pandangan oleh sikap hidup yang dikembangkan untuk menghadapi kehidupan masa kini. Karena bangsa Indonesia telah menerima Pancasila sebagai ideologi dan falsafah kehidupannya, dan juga sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka modernitas untuk bangsa kita tidak lepas dari Pancasila.
Hakikatnya Pancasila merupakan satu pandangan yang modern. Memang nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, semua mempunyai akar dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu kala.
Namun belum pernah dalam sejarah Indonesia ada kehidupan bangsa kita berbentuk negara yang dilandasi dan dikembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Baru dalam Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai dasar landasan Pancasila secara utuh. Itu berarti bahwa bangsa kita mempunyai keyakinan akan dapat menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang dengan sebaik-baiknya apabila menggunakan Pancasila sebagai landasannya. Itu berarti bahwa Pancasila merupakan pandangan atau Weltanschauung yang modern.  
Tetapi seperti telah dikatakan, tidak ada bangsa di dunia yang dapat menghindari pengaruh dan dampak peradaban Barat yang begitu dinamis dan agresif. Apabila kita yang merupakan bekas jajahan salah satu bangsa Barat, tentu telah memperoleh dampak dan pengaruh dari budaya Barat tersebut, baik yang positif maupun yang negatif. Oleh karena kita hendak mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara kita, maka kita harus pandai dan arif dalam menghadapi pengaruh dan dampak peradaban itu.
Selain itu Republik Indonesia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang penuh dengan peradaban Barat atau pun pengaruhnya. Untuk dapat tumbuh dengan selamat dan subur, maka Pancasila harus mempunyai kemampuan untuk hidup dalam lingkungan demikian tanpa kehilangan dirinya di satu pihak, tetapi juga kuat menghadapi pihak lain.  

Pancasila sebagai pandangan modern tentu juga merupakan pandangan yang terbuka. Tetapi justru karena keterbukaannya itu akan dapat mengembangkan vitalitas dan energi yang berhubungan dengan dunia luar, khususnya dunia Barat. Tentu keterbukaan itu tidak berarti bahwa jiwanya sendiri dikesampingkan atau dikorbankan. Sebab justru keterbukaan yang bermaksud untuk memupuk vitalitas dan energi lebih besar mempunyai tujuan untuk mengamankan jiwa sendiri. Dalam hubungan dengan peradaban Barat itu dapat diambil unsur-unsur mana yang dapat memperkuat kehidupan bangsa, dan sebaliknya diperhatikan unsur-unsur mana yang dalam peradaban Barat harus ditinggalkan karena merugikan kita sendiri.  
(http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Modernitas1 ) diakses pada tanggal 28 September 2012.
Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Modernisasi yang dimaksud adalah proses perombakan cara berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional, dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.




  1. Perubahan-Perubahan Besar Dalam Pola Kehidupan Umat Islam
Perubahan masyarakat yang berlangsung dalam abad pertama Islam tiada tara bandingannya dalam sejarah dunia Kesuksesan Nabi Besar Muhammad SAW. Dalam merombak masyarakat jahiliyah Arab, membentuk dan membinanya menjadi suatu masyarakat Islam, masyarakat persaudaraan, masyarakat demokratis, masyarakat dinamis dan progresif, masyarakat terpelajar, masyarakat berdisiplin, masyarakat industri, masyarakat sederhana, masyarakat sejahtera adalah tuntunan yang sangat sempurna dan wahyu ilahi.
Nabi Muhammad adalah Nabi yang paling sukses diantara para pemimpin agama, mendapat pengakuan dunia. Ajaran Islam yang dibawanya berhasil dan kuasa membasmi kejahatan yang sudah berurat berakar, penyembahan berhala, minuman keras, pembunuhan dan saling bermusuhan sampai tidak berbekas sama sekali, dan Muhammad berhasil membina di atasnya suatu bangsa yang berhasil menyalakan ilmu pengetahuan yang terkemuka, bahkan menjadi sumber kebangunan Eropa.

Proses perubahan masyarakat yang digerakkan oleh Muhammad adalah proses evolusi. Proses itu berlangsung dengan mekanisme interaksi dan komunikasi sosial, dengan imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Strategi perubahan kebudayaan yang dicanangkannya adalah strategi yang sesuai dengan fitrah, naluri, bakat, azas atau tabiat-tabiat universal kemanusiaan. Stratagi dan dikumandangkannya strategi mencapai salam, mewujudkan perdamaian, mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera, persaudaraan, dan ciri-ciri masyarakat Islam yang dibicarakan di atas tadi.
Walaupun demikian Muhammad harus mempersiapkan bala tentara untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dakwahnya, adalah karena tantangan yang diterima dari kaum Quraisy dan penantang-penantang jahiliyah lainnya untuk menghapuskan eksistensi Muhammad dan pengikutnya. Justru karena tantangan itu, kaum muslimin kemudian bertumbuh dengan cepat dan mengembangkan masyarakat dan kebudayaan dengan sempurna. Dalam situasi yang demikian, kita perlu merenungkan mengapa Muhammad SAW, junjungan kita, panutan kita, mampu membuat perubahan suatu masyarakat bodoh, terkebelakang, kejam, menjadi suatu masyarakat sejahtera, terpelajar, dinamis dan progresif dalam waktu yang begitu singkat.
Strategi kebudayaan yang dibandingkan Muhammad itu perlu kita kaji kembali Metode perjuangannya perlu kita analisa. Semua itu harus mampu memberikan anda suatu pisau analisa untuk kemudian menyusun suatu strategi kebudayaan untuk masa kini, untuk membangun kembali umat Islam dari keadaannya yang sekarang ini. Suatu hipotesa patut diketengahkan. Muhammad pada dasarnya membawa suatu sistem teologi yang sangat berlainan dengan sistem teologi jahiliyah Arab.(Supriyadi, 2003, hal 65-66)
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam
dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika
upaya tersebut berhasil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses
tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda dengan dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut. Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan social. (Nurcholis, 1985, hal. 467)
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama Rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), Insaniyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), Wasthiyyah (moderat-mengambil jalan tengah), Waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan ketetapan.(Nurcholis, 1994, hal. 5)

Bentuk-Bentuk Perkembangan Yang Dihadapi Umat Islam
Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah Islam mahjub bi al-muslimin.
Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim yakni seruan kembali kepada fundamen agama (al-Quran dan hadits), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan zaman akibat modernitas.
Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam.(Jainuri, 2002, hal. 38)
Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama` merupakan pewarisnya dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun.
Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek-
aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku
kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai- nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan. Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan    pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali yang dilarang”.
Menurut Kuntowijoyo (2007, hal. 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu Fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama.
Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan social.
Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadaap kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad pertengahan.
Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam seperti yang disebut oleh Qardhawi di atas bahwa Islam berdiri di tengah-tengah. Islam mengandung ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan di sisi lainnya. Dengan sikap terebut, Islam bisa tetap eksis di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.
Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek Islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisi yang tidak Islami.(Jainuri, 2002, hal. 15-17)



Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan respons umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.
Proses pembaharuan era modern mengalami dinamika yang cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyak pemikir dengan karakteristik yang berbeda-beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).


Fungsi Agama Terhadap Perkembangan Dan Perubahan Budaya
Dalam konteks sosial, hubungan fungsional antara agama dan masyarakat sejauh menekankan aspek-aspek yang rasional dan humanis, atau sosial karitatif dalam masyarakat, dapat disebut sebagai suatu historical force yang turut menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat. Dalam hubungan ini, dapat dikatakan bahwa agama mampu menjadi katalisator pencegah terjadinya disintegrasi dalam masyarakat.
Lebih dari itu, dengan kekuatan yang dimilikinya, agama dapat diharapkan membangun spiritualitas yang memberi kekuatan dan pengarahan dalam memecahkan segala problem sosial, mengatasi rasa frustrasi sosial, penindasan dan kemiskinan.



Sosiolog Peter L Berger yang dikutip dari Sutarto  (2006, hal 67) mengemukakan hal yang sama, bahwa agama merupakan sistem simbolik yang memberikan makna dalam kehidupan manusia yang bisa memberikan penjelasan secara meyakinkan, serta paling komprehensif tentang realitas, tragedi sosial dan penderitaan atau rasa ketidakadilan.
Memahami agama sebagai gejala kebudayaan tentu bersifat kontekstual, yakni memahami fenomena keagamaan sebagai bagian dari kehidupan sosial kultural. Dalam hal ini agama dikembalikan kepada konteks manusia yang menghayati dan meyakininya, baik manusia sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam setiap agama, tentu diajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau aturan tingkah laku para pemeluknya, walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden.
Keyakinan religius demikian, yang oleh Berger dikatakan dapat membentuk masyarakat kognitif, memberi kemungkinan bagi agama untuk berfungsi menjadi pedoman dan petunjuk bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Di sinilah agama dapat dijadikan sebagai instrumen integratif bagi masyarakat. Karena agama tidak berupa sistem kepercayaan belaka, melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial.
Intelektual seperti Soedjatmoko (1984) juga mengakui agama menjadi penggerak dan pemersatu masyarakat secara efektif. Karena, agama lebih dari ideologi sekuler mana pun, merupakan sistem integrasi yang menyeluruh.
Agama mengandung otoritas dan kemampuan pengaruh untuk mengatur kembali nilai-nilai dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.


D.     Upaya Umat Islam Dalam Menyikapi Semua Perkembangan

Serbuan kaum salib ke negeri-negeri Islam tidak hanya menggunakan pedang, besi dan api, tetapi juga melalui peradaban mereka yang dicekokkan ke semua negeri yang dapat dikuasainya. Bukan hanya peradaban material yang menyerbu negara-negara Islam, bahkan mental dan nilai-nilai moralpun tidak ketinggalan, seperti sistem pendidikan dan pengajaran, dan pemikiran-pemikiran orang Eropa mengenai ilmu jiwa, ilmu sosial, modal dan lain-lain. Perang Salib menghasilkan puing-puing kehancuran bagi kaum muslimin akibat kemauan penjajah yang dikendalikan oleh keserakahan untuk menguasai dan memperkuat wilayahnya mereka memikul salib di pundak mereka, tetapi setan berada di hati mereka.
Dahulu kaum muslimin menghayati peradaban ditambah dengan peradaban Persia, Turki dan lain-lain disamping pemikiran filsafat yang diserap dari Yunani dan Romawi. Dengan datangnya peradaban Barat, maka peradaban lama yang telah mereka hayati selama berabad-abad mengalami keguncangan hebat dalam pikiran mereka.
Inti peradaban Barat bercorak Nasrani, karena itu orang-orang Qibth di Mesir lebih mudah meniru dan menyerapnya. Namun mereka lebih banyak menyerap segi material daripada segi moralnya, sehingga setiap rumah dari keluarga kaum muslimin telah menggunakan penerangan listrik, menggunakan sajadah buatan Eropa, mendengarkan siara radio Eropa dan lain sebagainya.
Pada saat Barat mendominasi dunia di bidang politik dan peradaban, persentuhan dengan Barat menyadarkan tokoh-tokoh Islam akan ketinggalan mereka. Karena itu mereka berusaha bangkit dengan mencontoh Barat dalam masalah-masalah politik dan peradaban untuk menciptakan balance of power. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.
Penjajahan Barat juga memicu gerakan pembaharuan dalam Islam, yang didorong oleh 2 faktor yaitu pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, sedangkan yang kedua, tercermin dari pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak menuntut ilmu ke Inggris.
Pengaruh Barat terutama terlihat pada lapisan atas dan menengah, terutama pada intelegensia orang yang memperoleh pendidikan Barat, yang dijumpai pada tiap negeri Timur. Dalam reaksinya terhadap pengaruh Barat mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda.
Pandangan pertama berpegang pada sendi-sendi filsafat hidup nenek moyangnya, berusaha melakukan asimilasi dengan ide-ide Barat dan memikirkan sintesa yang lebih tinggi dari semangat Barat. Kedua, memutuskan hubungan dengan warisan lama, menerjunkan dirinya dalam pembaratan. Yang ketiga bersembunyi di belakang kekecewaan dan kengerian Barat.(Mansoor, 2007, hal. 26)
Memang benar bahwa peradaban Barat memainkan peranan besar dalam memajukan dunia Islam. Tanpa peradaban Barat dunia Islam tentu masih seperti keadaan semula, tetapi itu tidak berarti bahwa peradaban Barat tidak mengandung cacat dan kekurangan. Peradaban Barat telah menjauhkan dunia Islam dari peradaban Islam yang lama. Akhirnya peradaban Islam bukan lagi suatu produk dari kaum muslimin mandiri sebagaimana peradaban Barat adalah produk dari orang-orang Barat sendiri.
Secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam soal ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir, menalar dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun para filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum Muslim klasik telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa mengalami pembaratan (Westernisasi).
Keadaan yang penuh dengan sikap bebas dan terbuka itu jelas memerlukan kepercayaan diri yang tinggi, sehingga ada dukungan psikologis untuk bertindak proaktif dan reaktif. Kepercayaan diri yang diperlukan akan segera terwujud, mengingat realitas kekinian menunjukkan semakin banyaknya kaum Muslim yang memasuki kehidupan modern tanpa kehilangan loyalitas pada agama mereka. Oleh karena itu, kemodernan adalah suatu keniscayaan bagi umat Islam, meski sekarang ini kadang terjadi benturan antara Islam dan modernitas yang sering menghasilkan sikap-sikap reaksioner dalam bentuk anti-modernitas dan sikap-sikap penegasan diri (self-assertion) secara berlebihan.
Luka lama dunia Muslim akibat penjajahan itu akan hilang, lenyap ditelan sang waktu. Keyakinan itu didasarkan pada anggapan bahwa kemodernan adalah kelanjutan wajar dan logis dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga kemodernan sendiri adalah sesuatu yang tak bisa dihindari (inevitable).(Hanafi, 2002, hal. 84)




E.     Kesimpulan
Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif- negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost yang besar.
Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu bagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan. Fungsi sosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu orde sosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi positif antara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam realitas masyarakat yang pluralistik.
Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang kalau masih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak akan membelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada Islam. Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di mana faktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu berkaitan dengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas.
Secara historis Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalam soal ilmu pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkan umat Islam untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an juga selalu menyerukan manusia untuk berpikir, menalar dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsuf atas beberapa noktah ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namun para filsuf Muslim itu berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk membela dan melindungi keimanan agama. Dengan demikian, kaum Muslim klasik telah dengan bebas menggunakan bahan-bahan yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi, kaum Muslim saat sekarang juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan modern yang datang dari Barat tanpa mengalami pembaratan (Westernisasi).
Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi esensial dan sejalan dengan ajaran agama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk menundukkan segala tingkah laku kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi pada selanjutnya akan mendorong ummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan meninggalkan taqlid yang dikecam dalam Islam. Dengan demikian, pada dasarnya modernisasi bukanlah sebuah esensi yang bertentangan dengan ajaran dasar agama Islam.
















Daftar Pustaka

Al-Jamri, Mansoor, Islamisme, Pluralisme dan Civil Society, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Jainuri, Ahmad, Ideologi Kaum Reformis: Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, Surabaya: LPAM, 2002.
Madjid, Nurcholish, Agama dan Modernisasi: Pelajaran dari Jepang dan Turki, sebuah kata pengantar dalam Donald Smith, 1985, Agama Di Tengah Sekularisasi Politik (terjemahan Azyumardi Azra dan Hari Zamhari), Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
              , Islam Kemodernan dan keIndonesiaan, (Bandung: Penerbit Mizan , 1998)
Montgomery Watt, William, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Supriyadi Eko, “Sosialisme Islam”, Penerbit Pustaka Pelajar, 2003
Sutarto Ayu, Menguak pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia, Kelompok Peduli Budaya dan Wisata Daerah Jawa Timur (Kompyawisda), 2006.
Syafaq, Hammis, dkk, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.


0 komentar:

Posting Komentar

Site search

    Blogger news

    Blogroll

    About